Rabu, 19 Maret 2014

HUMOR HAJI



Haji Dilarang Ketawa !

Haram! Haram!
Aat Ma’rifat, haji asal Subang itu memang getol mencari pahala. “Mumpung di dieu,” ujarnya dengan senyum penuh harapan.
Oleh karena itu, Jumat pagi  ia keluar dari apartemennya di Aziziyah untuk berangkat ke Masjidil Haram. Karena jaraknya dekat dan ia merasa sudah hafal jalannya, maka ia berangkat sendirian.
Berdiri di jalan dekat apartemnnya, ia menunggu bus lewat. Beberapa kali bus berhenti menyahuti isyarat tangannya, tapi kondekturnya teriak – teriak, “Haraaaam! Haraaaam!”
Akhirnya, Aat yang sudah mendekati pintu bus, mengurungkan niatnya.
“Sialan, kenapa berhenti kalau tidak boleh naik?!” gerutunya.
Padahal, maksud supir bus ke masjidil Haram.

PERISTIWA DI DAERAH ASAL
Kategori Haji
Ketika memberikan ceramah pada acara walimatus safar, ustaz Sirojuddin memberikan uraian yang sangat menarik, yakni membahas  kategori kemampuan orang naik haji.
Pertama, kata ustaz Siroj, orang naik haji karena kemampuan dan biaya diri sendiri. Maka haji semacam ini disebut Haji Nishab.
Kedua, berangkat haji karena biaya keluarganya. Yah seperti saya dulu, kata ustaz Siroj, dibiayai orangtua saya. Maka haji semacam ini disebut Haji Nasab.
Terakhir nih, seperti Bapak Hasan Bisri ini. Ia kan berangkat atas biaya kantornya yang sebelumnya diundi dulu dari sekian ratus karyawan. Maka haji yang demikian ini disebut Haji Nasib.
Para hadirin tertawa terpingkal – pingkal. Hasan Bisri, si shahibul hajat tersipu – sipu.

Kiat Cepat Naik Haji
Di suatu majlis taklim yang sedang membahas topik haji, seorang ustaz membocorkan rahasia cepat bisa naik haji.
“Apa saja itu, Pak Ustaz?” tanya Utawi, jamaah loyal yang ingin segera naik haji, tapi terbentur oleh biaya.
“Gampang. Baca saja surat Yaa Siin 1000 X setiap malam Jumat selama 40 hari.”
“Kalau belum juga bisa naik haji, Ustaz?”
“Buka surat yang lain. Baca surat Al – Hajj.1000 X setiap malam Jumat selama 40 hari.”
“Kalau masih gagal juga, Ustaz?” Utawi masih bernafsu.
“Buka deh surat – surat tanah. Ambil saja 1000 meter persegi. Cepet dah pergi,” jawab Ustaz Baroto yang dari awal sebenarnya bercanda.

Kamus Haji
Ini yang perlu diketahui.
1.  Haji Mansur : naik haji karena halamannya digusur.
2.  Haji Abidin : haji atas biaya dinas
3.  Haji Halimah : haji sampai halim lalu  ke rumah
4.  Haji Abu Bakar : haji atas budi baik golkar.
5.  Haji Simatupang : haji siang malam tunggu panggilan ( waiting list )
6.  Habib : haji atas biaya barteran.
7.  Haji Kosasih : Haji karena Ongkosnya Dikasih

80% Kepala
Kamdi diminta foto ulang oleh petugas pendaftaran haji karena pas foto yang diberikan ukurannya standar umum. Sementara yang dikehendaki panitia adalah menonjolkan wajah.
“80% tampak muka ya, Pak Kamdi.”
“Mengapa harus tampak 80% muka?”
“Soalnya kalau 80% kaki malah kita nggak tahu foto siapa nantinya,” jawab panitia diplomatis.

Kena Batunya
Seorang jamaah terkena batu di jidatnya setelah melontar jumrah. Karena keadaan sudah sepi, ia memungut batu yang mengenainya. Rupanya di situ tertulis ”sesama setan dilarang saling menyakiti.”

PERISTIWA DI JEDDAH

Puntung Rokok
Istirahat di bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah, Sugriman tidak tahan menahan asam mulutnya. Ia bergegas mencari tempat yang nyaman untuk merokok. Ketemulah restoran terbuka. Ketika memperhatikan lantainya, ternyata ada 2 batang puntung rokok di sana.Tapi, Sugriman tetap menghormati aturan di negeri orang, takut kalau ada denda yang dia sendiri tidak kuat membayarnya. Bertanyalah ia kepada asykar yang bertugas di situ. “Bolehkah saya merokok di sini, Pak?”
“Oh, tidak boleh.”
“Tapi, mengapa ada puntung di lantai ini?” kilah Sugriman.
“Oh, itu. Ia tidak minta ijin dulu sih. Anda kan minta ijin dulu.”

Foto Siapa
Selepas pemeriksaan paspor di imigrasi bandara King Abdul Aziz Jeddah, seorang istri iseng – iseng membuka paspor suaminya. Hullya, calon hajjah dari Klaten ini terperanjat ketika melihat pas foto perempuan yang menempel di paspornya.
“Mau pergi haji tapi masih nggak bener juga kelakuannya,” kesal Hullya sambil cemberut.
“Maaf, ibu ini ngomong apa sih? Kok tiba – tiba cemberut begitu?” Tomo, suaminya bingung.
“Jangan pura – pura tak mengerti. Ini buktinya. Mau mengelak lagi?!” todong Hullya garang.
Tomo memandangi sejenak. Ia tidak mengenal wajah perempuan dalam foto itu. “Ini pasti nggak beres saat nyetempel paspor,” jawab Tomo kemudian.
Tomo sudah menjelaskan kemungkinan salah satu foto jamaah tertempel di situ. Bukankah setiap orang membawa banyak foto? Tapi istrinya masih saja cemberut.Setelah pembimbing menengahi barulah istrinya tersenyum lega.”Saya yakin, Bapak ke sini mau beribadah, bukan mau macam – macam, Bu. Lagi pula rasanya nggak ada tampang ya kalau Pak Tomo itu kelakuannya begitu.”

Jangan Dicopot
Setelah mendarat dengan selamat, pramugari mengumumkan bahwa sabuk pengaman boleh dilepas. Rupanya jamaah haji yang baru pertama kali naik pesawat melepas kedua sabuk yang dipakainya: sabuk pengaman dan sabuk celana.
“Aduh, Bapak, nanti bemonya kelihatan. Sabuk yang ini jangan ikut dicopot ya,” bujuk pramugari  sambil menunjuk celana panjang Pak Tanthowi.

Amien, Amien, Amien
Sambil menahan kantuk, Haji Bunayya mendengarkan khotbah Jumat Syekh Abdurrahman Sudais di masjidil Haram. Khutbah itu begitu panjangnya. Begitu pula khutbah keduanya. Sambil terkantuk – kantuk, ia mengangkat tangannya  mengaminkan,”Amien! Amien! Amien!….”
Haji Hartono yang duduk di sebelahnya langsung menegur dengan isyarat jari menutup mulutnya.
“Oh, saya kira khotib sedang berdoa,” jawab Bunayya masih tidak tahu ketika mendengar khutbah Jumat.

Pakaian Imam
“Mengapa imam masjidil Haram memakai gamis warna putih ya?”
“Lha kalau memakai gamis batik nanti dikira shalat di kota Pekalongan.”

Bedanya
Dua orang haji sedang berbincang santai.
“Apa sih bedanya masjidil Haram dengan masjid Nabawi?”
“Masjidil Haram di Mekkah dan Nabawi di Madinah. Gitu aja kok repot.”

Di Depan Multazam
Percakapan dua jamaah haji sambil rehat.
“Mengapa imam shalat selalu berada di depan Multazam ya?”
“Memang boleh kalau berada di halaman masjidil Haram?”

Memotret Ka’bah
Demi untuk kenang – kenangan sesampainya di Tanah Air, Hajjah Rina bermaksud memotret ka’bah dengan handphonenya. Kepada asykar, Rina meminta ijin.
“Bolehkah saya memotret ka’bah?”
“Haram! Haram! Tidak boleh, tidak boleh!Ini tanah haram.”
“Tapi, teman saya sehotel kok boleh memotret?”
“Nah, karena dia tidak minta ijin dulu,” jawab asykar diplomatis.


Salon Arab
“Ada yang menarik dari salon laki – laki di Arab,” pancing Haji Munawir kepada temannya.
“Apa itu Pak?” tanya Haji Markum penasaran.
“Pemanas rambutnya menghadap ke bawah.”
“Lho, kok bisa begitu?”
“Sebab yang dipanasi bukan rambutnya, tapi jenggotnya.”

Thawaf di Luar Masjid
Orang Indonesia memang terkenal suka berbelanja. Bahkan menurut survei, income terbesar pedagang – pedagang di Pasar Seng, Makkah karena keroyalan jamaah haji Indonesia. Ini juga sudah diketahui ustadz – ustadz pembimbing. Oleh karena itu, untuk menghindari rasa malu dan pekewuh, jamaah haji menggunakan bahasa simbol. Belanja sama dengan thawaf.
Nah, ini kejadian di saat rombongan haji sedang mengikuti kuliah Dhuha di selasar hotel. Ibu – ibu tampak gelisah. Sesekali berbisik – bisik satu sama lainnya. Rupanya ustaz menyadarinya. “Sudah pada mau thawaf di Pasar Seng ya, kok kelihatannya nggak khusyu’,” sindir ustaz Wahab.
Jamaah terpingkal – pingkal.

    Daftar Doa
Sudah menjadi tradisi bahwa setiap ada orang naik haji,  para tetangganya selalu menitipkan doa. Begitu juga ketika Pak Baron naik haji. Pak RT menitip doa agar usahanya lancar. Bu Djoko menitipkan doa agar anaknya diterima di Perguruan Tinggi ternama. Bang Kodir menitip agar memperoleh jodoh yang salehah.Dan masih banyak lagi.
Begitulah, seusai melakukan thawaf qudum, Pak Baron membaca daftar penitip doa satu per satu berikut doa yang harus dipanjatkan di depan multazam. Nahas baginya, ketika baru ada lima doa yang dibacakan, ia tersenggol orang Nigeria yang tinggi dan besar. Terbanglah kertas berisi daftar tersebut.
Dengan lemas, Pak Baron berharap, “ Ya, Allah, Engkau Maha Tahu. Amin.”

Beda Azan Subuh
Perbedaan mencolok apakah yang terlihat antara azan Subuh di Arab Saudi dengan Indonesia?
“Kalau di Arab Saudi cukup ‘Ashsholaatu khoirum minannauum.”
“Kalau di Indonesia?”
“Ashsholaatu khoirum minan nauuuuuuuuuuuuuuuuuuuum.”
“Kok bisa begitu?”
“Karena di Indonesia orang – orang malas bangun ketika azan dikumandangkan. Sedangkan di Arab, sebelum Subuh orang – orang sudah ada di masjid.”

Terlalu Mahal
Di sekeliling ka’bah, ternyata banyak joki hajar aswad. Mereka menawarkan jasa membantu memandu jamaah mencium hajar aswad.Rata – rata 10 riyal per jamaah.
“Mahal amat!” protes Haji Bonari kepada penyedia jasa.
“Terserah Bapak. Kalau nggak punya uang nggak usah minta bantuan deh,” ujar mahasiswa penyedia jasa.
“Oke deh, 5 riyal,” tawar Haji Bonari.
“Bisa, Pak, tapi saya lempar sampai depannya.”

100.000 Kali Lipat
Sesuai perjanjian sebelumnya bahwa selesai thawaf dan sa’i mereka akan bertemu di depan kantin Bakso Pak Udin, para rombongan berkumpul sesuai waktu yang telah ditetapkan. Namun, ada satu jamaah yang sudah 30 menit ditunggu tidak kunjung tiba. Para jamaah sudah mulai jemu menunggu. Mereka gelisah. Kegelisahan mereka akhirnya terbaca juga oleh Ustadz Saerozi, pembimbing mereka. “Tenang Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Sabar. Menunggu di masjidil Haram  ini dilipatkan 100.000 kali.”
“Pahalanya, Ustadz?” celetuk Haji Juned.
“Bukan. Maksud saya menunggunya serasa 100. 000 kali lipat lamanya,” jawab Ustadz Saerozi sambil tersenyum.

PERISTIWA DI JAKARTA

Seperti Semut
Karena ada kerusakan teknis, pesawat rombongan haji dari bandara Soekarno – Hatta menuju Jeddah tidak segera take off alias terlambat terbang. Sementara jamaah calon haji sudah berada di pesawat cukup lama.
Karliyah, ibu setengah baya ini rupanya tertidur lelap di dalam pesawat. Maklum, semalam di Asrama Haji Pondok Gede tidak bisa tidur nyenyak karena membayangkan cepat sampai di Makkah.
Ketika annauncement dari awak kabin pesawat terdengar, Karliyah terbangun. Melalui jendela, ia melihat ke bawah. “Subhanallah,” kagetnya, “orang – orang jadi kecil seperti semut ya kalau dilihat dari atas pesawat,” Karliyah menengok ke penumpang sebelahnya.
“Bu, pesawat ini belum terbang. Itu memang semut beneran,” jawab penumpang sebelahnya.
Karliyah tersipu.

Beda Tujuan
Seorang pramugari pesawat haji dibuat repot oleh salah satu penumpangnya, Marijan. Ia tidak mau duduk di kelas ekonomi, tapi memilih seat kelas bisnis. Sudah berkali pramugari membujuknya bahwa di tempat duduk depan untuk jamaah yang membayar lebih mahal, tapi tidak berhasil juga.
Karena merasa buntu pikirannya, pramugari melapor kepada pilot. Dengan sedikit terpaksa, pilot turun tangan mendekat penumpang yang rewel.
“Maaf, Bapak ini mau turun di Jeddah apa di Madinah?” pancing sang pilot.
“Turun di Jeddah, Pak.”
“Nah, kalau ke Jeddah dulu, Bapak sudah benar duduk di sini.”
“Terima kasih, Pak. Alhamdulillah saya nggak keliru tempat duduk,” jawab Marijan sambil tersenyum.

Lauk Pilihan
Wasmo, lelaki lanjut yang baru pertama kali naik pesawat.Kepergiannya naik haji ini adalah kesempatan perdananya mengenal enaknya naik pesawat.
Dengan sedikit mengantuk, ia didatangi pramugari. Oleh pramugari ia ditawari makanan. “ Mau lauk daging sapi apa ayam, Pak?”
“Nggak, nggak, saya nggak pesen. Saya masih kenyang,” tolak Wasmo. “Ah, saya kan harus ngirit, jangan sampai duit habis sebelum sampai di tujuan,” gumamnya.
“Bapak, ini jatah Bapak. Gratis. Bapak tidak perlu membayar,” bujuk pramugari sembari tersenyum.
“Apa? Tidak perlu membayar?” setengah tak percaya Wasmo bertanya.
Pramugari mengangguk. Masih tersenyum. Wasmo tersenyum malu. “ Daging ayam sajalah kalau begitu, Jeng.”

Bukan Tangan Saya
Merasa sudah buntu jalannya, Imam Kadarusman, calon haji akhirnya mendekati mendekati pejabat tinggi Departemen Agama. Dengan membeberkan kronologi jalan yang sudah ditempuh dari walimatus safar, demo di DPR, sampai mencari paspor hijau akhirnya diterima oleh pejabat tinggi Depag. Setelah berdiplomasi dan pasang muka memelas akhirnya pejabat yang berwenang memutuskan. “Yang tanda tangan ini bukan tangan saya lho, Dik Imam, tapi tangan Allah,” ujar pejabat tersebut. “Dan pesan saya, tolong rahasia ini jangan sampai bocor.”

Tidak Ada Pangkat
Seorang berpangkat tinggi rewel selama mengikuti manasik haji. Tentu sangat menyebalkan bagi pembimbingnya. “Maaf, di sini tidak ada pangkat, Pak, yang ada ketakwaan.”
“Tapi, mengapa ongkosnya beda – beda?”

Lebih Mahal
Sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya penyelenggaraan ibadah haji  di Indonesia jauh lebih mahal ketimbang negeri jiran. Bayangkan saja, di Indonesia biaya per orang US$ 2770. Sementara di Filipina  US $ 1600 dan bahkan di Malaysia cuma US $ 1200.
“Mestinya tidak sebesar itu kalau mengambil keuntungan,” komentar Haji Zaim, pengamat penyelenggaraan ibadah haji.
“Lho, maksud kami bukan mau menilep uang jamaah haji. Kami sekadar membatasi membludaknya jamaah dengan cara meninggikan biaya,” kilah Haji Basari dari Depag.

Revisi UU Haji
Banyaknya masalah yang muncul dalam penyelenggaraan haji memancing desakan masyarakat agar segera dilakukan revisi terhadap UU 17/ 1999 tentang Haji. Salah satu desakan yang kuat adalah perlu dilibatkannya masyarakat dalam menyelenggarakan ibadah haji. Pihak pemerintah sendiri masih terkesan enggan membagi tanggung jawab ke masyarakat. Oleh karena itu, ia berusaha melobi Ketua Komisi di DPR.
“Gimana caranyalah yang penting pasal tersebut tidak mengalami perubahan,” rayu pejabat pemerintah.
“Wah, agak sulit Pak. Perlu pembahasan di hotel dan butuh waktu lama,” jawab Ketua Komisi DPR.
“Dihitung aja Pak berapa lama di menginap dan di hotel apa. Mengenai biaya nggak usah dipikirkan.”

Seminar Haji
Pada sebuah seminar yang membahas penyelenggaraan haji, seorang peserta dari LSM mengeluh.
“Selama ini ada kesan bahwa Depag tidak ingin melepas tanggung jawab penyelenggaraan haji. Padahal seperti kita ketahui tiap tahunnya selalu ada masalah,” ujar Haji Muharius.
“Depag berpendapat, hal itu masih harus diurus pemerintah. Mengurus jamaah haji ratusan ribu itu tidak mudah,” jawab Haji Antono, pejabat tinggi Depag.
“Justru di situlah masalahnya. Kalau sudah tahu tidak mudah, mengapa ada kesan ngotot?”
“Sebenarnya pada tahun 1970-an sudah pernah. Tapi kenyataannya banyak jamaah yang tidak berangkat dan uangnya hilang,” jawab Haji Antono tak mau kalah.

Studi Banding
Atas desakan masyarakat yang begitu gencar, akhirnya pemerintah mengirim utusannya untuk melakukan studi banding mengenai sistem penyelenggaraan ibadah haji ke Malaysia. Didapatkan bahwa sistem Tabung Haji yang digagas pertama kali oleh Ungku Aziz, seorang ekonom dari Universitas Malaya, pada 1959 sangat bagus.
Sepulang dari dari Malaysia, utusan tersebut melaporkannya kepada atasannya. “Karena didukung database yang lengkap, mereka yang belum berhaji akan diprioritaskan,” lapor Haji Saridin.
“Well,terus?”
“Yang patut dicontoh, para calon jamaah haji tak perlu berebut mendapatkan kuota. Mereka tinggal menunggu giliran,” lanjut Haji Saridin.
“Nah, ini. Tolong nilai plus yang kedua ini jangan sampai diketahui oleh umum. Biarlah menjadi rahasia kita saja,” pesan Haji Bairi, atasan Haji Saridin.
Haji Saridin melongo.

Dana Tabung Haji
Menteri Agama melakukan kunjungan dinas ke negara Malaysia. Sebagai pimpinan tertinggi di Departemen Agama, tak lupa menyempatkan diri untuk menimba ilmu mengenai Tabung Haji. Lembaga berbasis syariah ini sudah  mendapat fatwa halal dari Mufti Agung Mesir, Syekh Mahmoud Shaltut, yang juga wakil penasihat Universitas Al – Azhar pada 1962.
“Bagaimana memanfaatkan dana yang terkumpul dari calon jamaah haji?” tanya Menteri Agama.
“Kami investasikan di pembangunan Kuala Lumpur International Airport, pembangkit listrik Bakun Dam di Sarawak, dan investasi lain di pelbagai perusahaan Eropa,” jawab Menteri Ugama Malaysia.
Menteri Agama mengangguk – angguk.
“Kalau Indonesia sendiri macam mana?”
“Justru kami ke sini ingin mengetahui ladang investasi mana saja yang bisa kami masuki,” jawab Menteri Agama setengah kecut. Menteri Agama langsung mengalihkan topik pembicaraan karena takut ketahuan bahwa rekening jamaah haji atas nama dirinya.

Waktu Haji
Menurut Surat Al- Baqarah ayat 197, waktu haji adalah beberapa ( 3 ) bulan yang sudah maklum. Para mufasir dan para ulama mengatakan yang dimaksud adalah Syawal, Zulqaidah dan Zulhijah. Menurut ulama Hanbaliyah, waktu haji yang dimaksud adalah keseluruhan hari selama tiga bulan tersebut. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah, yang dimaksud adalah seluruh hari di bulan Syawal dan Zulqaidah ditambah 10 hari pertama bulan Zulhijah.
“Dengan argumen seperti itu, waktu pelaksanaan ibadah haji tak hanya sekitar 6 hari, yakni hari – hari ke – 8,9, 10, 11, 12, 13 pada bulan Zulhijah,” Masdar F. Mas’udi, pemikir Islam melontarkan pemikirannya.
“Bukankah ada hadis khudzuu ‘anny manasikakum. Ambillah dariku manasik kalian,” ulama lain berargumen.
“Hadis ini harus kita ikuti sebatas menyangkut prosesi ( manasik ) ibadah haji, bukan menyangkut waktu, dalam arti tanggal atau hari – harinya,” Masdar kembali berargumen.
“Lalu, bagaimana dengan hadis yang berbunyi Al – hajju ‘arafah. Haji adalah Arafah?” balik ulama teman diskusinya.
“Tapi puncak di Arafah itu bukan tanggal 9 Zulhijah saja. Tetap dalam rentang 3 bulan itu,” Masdar masih berargumen.
Ulama tadi setengah kelabakan. Akhirnya ketemu ide nyeleneh juga. “Oke deh Pak Masdar. Gimana seandainya Anda sendiri wukuf pada bulan Syawal?”
“Wah, ya kurang seru. Masak wukuf sendirian,” jawab Masdar santai.

Butuh Keadilan
Dalam sebuah acara ramah tamah antara pejabat Depag yang membidangi urusan haji dengan penyelenggara KBIH Khusus di sebuah hotel, seorang pemilik KBIH Khusus mengeluh. “Dari tahun ke tahun ternyata masih banyak penyelenggara yang hanya jual beli kuota. Ia sendiri hanya memiliki sedikit calon jamaah haji. Sementara banyak kuota yang akhirnya dijual ke KBIH lain karena ia memperoleh banyak kuota.Kami butuh keadilan, Pak,” protes Haji Hafidz.
Sebelum pejabat Depag menjawab, dari hadirin yang duduk di belakang terlontar jawaban. “Maaf, kami tidak menjualnya ke KBIH Lain. Yang betul kami menjual ke KBIH Khusus juga.”

Seminar Lontar Jumrah
Karena diminta masukannya seputar penyelenggaraan lontar jumrah, pemerintah Indonesia kemudian mengundang masyarakat dari berbagai unsur menyelenggarakan seminar. Masukan seminar ini nantinya akan diberikan kepada pemerintah Arab Saudi.
“Menurut hemat kami, ke depan lontar jumrah harus memakai sistem komedi putar. Tentu, mereka akan bergiliran melontar dengan cara berputar. Tidak akan terjadi tabrakan,” Haji Sudak, salah seorang peserta usul.
“Akan lebih aman kalau melempar dari jarak jauh misalnya memasukkan batunya melalui slang dan didorong dengan tenaga angin,” usul Haji Gaus, peserta seminar yang lain.
“Masukan – masukan tadi bagus. Tapi saya kira kita harus berpikir ke depan. Mengapa kita tidak menerapkan sistem computerized. Jadi digerakkan melalui komputer. Atau setidaknya memakai remote control deh,” jawab Haji Fauzi antusias.
Pejabat Depag tiba – tiba pusing kepala.

Tambahan Kuota
Adanya informasi dari pemerintah bahwa kuota untuk Indonesia ditambah 30.000 tentu membuat masyarakat menjadi gembira.
“Tapi, apakah Anda yakin bahwa tambahan itu bukan sebuah fatamorgana saja?” tanya wartawan tajam.
“Spekulasi kan boleh selama keuntungannya sudah di depan mata. Kalau toh tambahan itu batal pemerintah tidak akan rugi kok,” jawab petinggi Depag kemudian.
Wartawan hanya nyengir.

Bunga Dana Haji
Menteri Agama beserta staf melakukan studi banding penyelenggaraan ibadah haji ke Malaysia. Maklum, dengan Tabung Hajinya, Malaysia dianggap berhasil melayani ibadah haji warganya. Setelah membeberkan sejarah Tabung Haji secara panjang lebar, Menteri Ugama Malaysia berujar, “Dana haji tidak boleh ditanamkan di sektor usaha yang haram dan makruh. Misalnya perusahaan minuman keras dan rokok. Macam mana di Indonesia?”
“Kami sungguh sangat hati – hati terhadap bunga bank. Kami mencegah agar calon jamaah haji tidak memakan uang haram tersebut,” jawab Menteri Agama.
“Lalu,untuk apa riba tersebut?”
“Biar kami sajalah yang menanggungnya,” jawab staf Menteri Agama dengan tenang.

Tidak Mau Pakai
Seorang jamaah haji yang baru pertama kali naik pesawat diminta memakai sabuk pengaman. Namun Pak Badrun, jamaah tadi menolak. Alasannya ia sudah memakai sabuk sendiri.”Sudah pakai sabuk kok masih disuruh pakai lagi,” gerutu Pak Badrun.
Karena demi keselamatan penumpang, pramugari merayu. “Bukan begitu maksudnya, Pak. Khawatirnya kalau Bapak nanti kejedot ke kursi depan, pasti penumpang di depan Bapak akan terjungkal,” bujuk pramugari Paramitha.
“Oh, bilang dari tadi kalau begitu,” Pak Badrun tak mau kalah.

PERISTIWA DI MAKKAH

Wudhu Cadangan
Setelah melihat kenyataan bahwa jarak antara Ka’bah dan toilet jauh, Hasbi yang suka kentut itu merasa gelisah. Ia membayangkan harus bolak – balik ke masjid dan tempat wudhu. Akhirnya ia mendekati ustaz pembimbingnya dan memberanikan diri untuk bertanya. “Ustaz, saya sering kentut. Gimana caranya ya agar saya tidak bolak – balik ke tempat wudhu?”
“Wudhu saja 3 kali. Kalau kentut kan masih ada dua wudhu cadangan,” sahut Indra asal.
“Ah, ente sembarangan aje,” ustaz Mun’im menyemprot Indra. “Kalau batal ya wudhu lagi. Kan nggak jauh – jauh amat.”

Memegang Alqur’an
Kalau ingin melihat demokrasi orang shalat, shalatlah di Masjidil Haram. Jamaah dari berbagai bangsa berkumpul dengan tata cara berbeda – beda. Ini pula yang mengundang pertanyaan Haji Rofaan. “Mengapa orang Afghanistan kalau sedang berdoa sambil mengangkat Alqur’an?”
“La kalau mengangkat Injil dikira orang Kristen, dong,” kilah Haji Mubarok.

Pakaian Imam
“Mengapa imam masjidil Haram memakai gamis warna putih ya?”
“Lha kalau memakai gamis batik nanti dikira shalat di kota Pekalongan.”

Bedanya
Dua orang haji sedang berbincang santai.
“Apa sih bedanya masjidil Haram dengan masjid Nabawi?”
“Masjidil Haram di Mekkah dan Nabawi di Madinah. Gitu aja kok repot.”

Di Depan Multazam
Percakapan dua jamaah haji sambil rehat.
“Mengapa imam shalat selalu berada di depan Multazam ya?”
“Memang boleh kalau berada di halaman masjidil Haram?”

Memotret Ka’bah
Demi untuk kenang – kenangan sesampainya di Tanah Air, Hajjah Rina bermaksud memotret ka’bah dengan handphonenya. Kepada asykar, Rina meminta ijin.
“Bolehkah saya memotret ka’bah?”
“Haram! Haram! Tidak boleh, tidak boleh!
Ini tanah haram.”
“Tapi, teman saya sehotel kok boleh memotret?”
“Ya, karena dia tidak minta ijin dulu,” jawab asykar diplomatis.

Tidak Mengangkat Tangan
Ada pemandangan yang aneh bagi Sulastri ketika melihat orang – orang Irak melakukan shalat. Pasalnya, ketika takbir, orang – orang itu tidak mengangkat tangannya. Dengan memberanikan diri, Sulastri kemudian bertanya, “Maaf, Bapak. Kenapa Bapak tadi tidak mengangkat tangan Bapak ketika takbir?”
“Lho, kalau saya angkat tangan nanti dikira sudah menyerah. Apalagi kalau dilihat orang Amerika dan para sekutunya. Kami tidak akan menyerah!” jawab orang Irak berapi – api.

Penjual Obat Jenggot
Berziarah ke Jabal Tsur, tempat Rasulullah dan Abu Bakar bersembunyi karena kejaran kaum kafir Quraisy, Haji Abidin merasa heran. Banyak pedagang bertebaran di lerengnya. Bagi Haji Abidin, yang paling menarik adalah penjual obat penumbuh jenggot.
“Tuan menjual obat jenggot, tapi mengapa Tuan tidak memiliki rambut jenggot,” Haji Abidin mencoba menembak penjual obat.
Sejenak gelagapan ia, tapi buru – buru berkilah, “Haji, kalau ana jual burung, apakah ana harus bertelur juga? Subhanallah!”

Makam Nabi Ibrahim
Selesai melakukan thawaf qudum, Haji Sulana melakukan shalat sunah 2 raka’at di belakang makam Ibrahim. Selesai shalat sunah, ia mengamati isi makam Ibrahim. Tak bisa menyembunyikan keheranannya, ia bertanya kepada pembimbingnya.
”Ustaz Zamroni, saya heran mengapa makam Nabi Ibrahim begitu pendek? Bukankah orang – orang jaman dulu tinggi – tinggi dan besar- besar?” tanya Haji Sulana.
“Ini bukan kuburan Nabi Ibrahim, Pak Sulana. Tapi bekas pijakan beliau saat mendirikan ka’bah,” jawab Ustaz Zamroni sembari tersenyum.
“Oooh…”

Sunah Ba’diyah ‘Ashar
Ini kejadian serupa. Ketika Muridan melakukan shalat lagi setelah shalat ‘Ashar, tentu ada yang menegurnya.
“Ente shalat lagi? Bukankah tidak ada ba’diyah ‘Ashar?”
“Kamu belum tahu  pahalanya shalat di masjidil Haram sih? 100 ribu kali shalat di masjid lain, tahu!” Muridan menjawab dengan sok tahu.

Salon Arab
“Ada yang menarik dari salon laki – laki di Arab,” pancing Haji Munawir kepada temannya.
“Apa itu Pak?” tanya Haji Markum penasaran.
“Pemanas rambutnya menghadap ke bawah.”
“Lho, kok bisa begitu?”
“Sebab yang dipanasi bukan rambutnya, tapi jenggotnya.”

Thawaf di Luar Masjid
Orang Indonesia memang terkenal suka berbelanja. Bahkan menurut survai, income terbesar pedagang – pedagang di Pasar Seng, Makkah karena keroyalan jamaah haji Indonesia. Ini juga sudah diketahui ustaz – ustaz pembimbing. Oleh karena itu, untuk menghindari rasa malu dan pekewuh, jamaah haji menggunakan bahasa simbol. Belanja sama dengan thawaf.
Nah, ini kejadian di saat rombongan haji sedang mengikuti kuliah Dhuha di selasar hotel. Ibu – ibu tampak gelisah. Sesekali berbisik – bisik satu sama lainnya. Rupanya ustaz menyadarinya. “Sudah pada mau thawaf di Pasar Seng ya, kok kelihatannya nggak khusyu’,” sindir ustaz Wahab.
Jamaah terpingkal – pingkal.

Kotak Amal
“Mengapa di Masjidil Haram tidak ada kotak amalnya ya?”
“Memangnya cukup 2 hari untuk menghitung hasilnya?”
“Tapi kan uangnya bakal ratusan juta tuh sekali edar.”
“Atau kamu mau mengedarkannya?”

Karpet
Seorang ibu kesal terhadap anaknya, karena sudah bolak – balik di Pasar Seng masih belum menemukan apa yang diinginkannya.
“Memang mau beli apa sih, Bu?” tanya Haji Zaini.
“Minta karpet, Pak Haji,” jawab Hajjah Fathiyah.
“Kan, banyak. Tinggal memilih. Memang maunya yang gimana?”
“Yang bisa terbang kayak punyanya Aladin, katanya.”
“Waladalaaaah!”

Karpet Terbang
“Ada karpet yang bisa terbang, Tuan?” tanya Hajjah Muniroh kepada penjual karpet.
“Ada, tapi belum dikirim. Masih di Baghdad,” jawab pemilik toko tak kalah lucunya.

Warna Cadar
“Mengapa cadar berwarna hitam ya?”
“Kalau batik nanti dikira masih di Pekalongan.”

Cadar Tebal
Mengapa cadar berupa kain tipis ya?
Kalau tebal bisa nabrak – nabrak jalannya.

Cadar Laki – laki
“Mengapa cadar hanya untuk perempuan?”
“Aduh, untuk perempuan saja kita jadi sulit membedakannya, apalagi kalau laki – laki juga memakainya. Tambah bingung, pasti!”

Banyak Burung Merpati
“Mengapa di Tanah Suci ini banyak burung merpati ya?” tanya Haji Fahman.
“Karena tidak boleh ditangkapi dan disembelih,” jawab Haji Imam.
“’Di Indonesia ditangkapi dan disembelih, kok masih banyak juga?”
“Waduh, kok sempat – sempatnya nanya sih?!”

Lebih Mahal
Seorang ibu membeli rumput Fatimah di halaman masjidil Haram.
“10 riyal haji. Kalam akhir!” maksudnya tidak bisa ditawar lagi.
“Mahal amat. Di Jabal Uhud cuma 5 riyal!” protes Hajah Naina.
“Itulah, mengapa nawarnya di sini kalau mau belinya di sana?” tembak penjual rumput Fatimah kemudian.

Warna Ihram
“Mengapa kain ihram warnanya putih – putih ya?”
“Kalau merah putih nanti dikira bendera Indonesia.”

Lari – lari Kecil
Rasulullah mencontohkan, ketika mencapai Bathnul Waadi yang ditandai dengan lampu hijau saat ini, jamaah haji harus lari – lari kecil. Meskipun sudah dicontohkan oleh Rasulullah, toh masih ada pula yang bertanya.
“Mengapa sih ketika sa’i kita harus lari – lari kecil pas di lampu hijau?” tanya Haji Abnan.
“Habisnya kalau lari – lari cepat bakal banyak yang kesrimpung. Kalau jatuh kan bisa luka,” jawab Haji Muhsin sekenanya.

Tutup Toko
“Mengapa toko – toko di Arab Saudi selalu ditutup pada saat shalat?”
“Kalau dibuka toh tidak ada yang beli. Wong semuanya pada shalat.”

Pintu Masjidil Haram
Pintu Masjidil Haram ada 4 utama dan 45 pintu biasa. Karena banyaknya inilah banyak pula jamaah haji yang tersesat, bahkan beberapa kali.
“Mengapa ada 49 pintu ya?” Haji Kolari setengah mempertanyakan. Ia termasuk yang tersesat.
“Nanti saya tanyakan sama yang punya ide dan arsiteknya ya,”canda Haji Nawawi.
“Ah, Pak Haji canda melulu.”

Tidak Dipisah
Mengapa jamaah laki – laki dan perempuan tidak dipisah ketika shalat di masjidil Haram?
Wajar kan, pasalnya ka’bahnya juga satu.
Nah, lo, nggak nyambung, kan.

Gara – gara Warna Baju
Haji Saman terperanjat ketika menyadari bahwa istrinya sudah lepas dari gandengannya. Padahal saat thawaf jamaah berjubel dan arus manusia sangat kuat. Namun ia menjadi gembira ketika ingat bahwa dirinya janjian dengan istrinya. Haji Saman berpesan apabila terpisah. mereka akan bertemu di pintu Baabus Salam.Rupanya sudah sekian lama Haji Saman menunggu kehadiran istrinya, namun istrinya tidak kunjung muncul.
Ketika hampir putus asa menunggu, istrinya muncul dengan gugup dan berlinang airmata. “Saya…,saya…”
“Kenapa, Bu?”
“Saya tadi nggandeng orang Turki ternyata. Seragam kita sama yakni hijau tosca,” cetus istrinya terguguk.

Penjaga Toilet
“Mengapa toilet di masjidil Haram tidak ada penjaganya?” tanya Haji Warno.
“Takut kewalahan menerima bayaran. Bukankah konsumennya sangat banyak?”

Kotak Amal
Masih seputar masjidil Haram.
“Mengapa tidak ada kotak amal yang diedarkan ketika shalat Jumat?”
“Untuk apa uangnya? Toh, semuanya sudah dibiayai kerajaan.”

Joki Hajar Aswad
Di masjidil Haram ternyata banyak joki. Bukan joki UMPTN, tapi mencium Hajar Aswad. Mereka kebanyakan mahasiswa di Saudi Arabia dan sekitarnya. Mereka membisiki jamaah yang tampaknya menginginkan mencium Hajar Aswad tapi takut atau kesulitan. Suatu saat mahasiswa ini menghampiri Sutarno menawarkan jasa joki.
“Mau saya bantu, Pak?”
“Mau, mau, Dik.”
“Cuma 10 riyal, Pak.”
“Mahal banget. 5 riyal ya.”
“Umumnya memang segitu, Pak.Ini sudah murah.”
“Murah apanya. Pantesan Rasulullah tidak menggunakan joki karena mahal begitu,” gerutu Sutarno.
    
 Daftar Doa
Sudah menjadi tradisi bahwa setiap ada orang naik haji,  para tetangganya selalu menitipkan doa. Begitu juga ketika Pak Baron naik haji. Pak RT menitip doa agar usahanya lancar. Bu Djoko menitipkan doa agar anaknya diterima di Perguruan Tinggi ternama. Bang Kodir menitip agar memperoleh jodoh yang salehah.Dan masih banyak lagi.
Begitulah, seusai melakukan thawaf qudum, Pak Baron membaca daftar penitip doa satu per satu berikut doa yang harus dipanjatkan di depan multazam. Nahas baginya, ketika baru ada lima doa yang dibacakan, ia tersenggol orang Nigeria yang tinggi dan besar. Terbanglah kertas berisi daftar tersebut.
Dengan lemas, Pak Baron berharap, “ Ya, Allah, Engkau Maha Tahu. Amin.”

Tidak Mau Pakai
Seorang jamaah haji yang baru pertama kali naik pesawat diminta memakai sabuk pengaman. Namun Pak Badrun, jamaah tadi menolak. Alasannya ia sudah memakai sabuk sendiri.”Sudah pakai sabuk kok masih disuruh pakai lagi,” gerutu Pak Badrun.
Karena demi keselamatan penumpang, pramugari merayu. “Bukan begitu maksudnya, Pak. Khawatirnya kalau Bapak nanti kejedot ke kursi depan, pasti penumpang di depan Bapak akan terjungkal,” bujuk pramugari Paramitha.
“Oh, bilang dari tadi kalau begitu,” Pak Badrun tak mau kalah.

Cuma Menonton
Haji Zain memang jeli. Sebagai wartawan, naluri kewartawanannya cukup berjalan juga. Begitu juga ketika sedang berzikir di Masjidil Haram. Ia mengomentari jamaah  lain.
“Sudah jauh – jauh di sini kerjanya kok cuma nonton orang thawaf. Mestinya kan zikir terus,” ujarnya.
Sepulang dari masjid, sajadahnya ketinggalan, tanpa ia ingat sama sekali. Berceritalah ia kepada teman – temannya. “Makanya hati – hati berkomentar. Nonton orang thawaf kan sudah dapat pahala 20 rahmat lho. Itu cuma nonton itu.”
“Oh, begitu ya…”
Terharu
Seusai melakukan thawaf, rombongan jamaah haji kembali ke maktab. Mereka hampir memiliki kesamaan perasaan ketika bisa mencium hajar aswad: menangis karena terharu. Hanya seorang yang tidak merasa terharu, dengan sinis berkomentar, “Ah, gitu aja cengeng. Aku nggak nangis nih,” ujar Haji Mardu kepada teman – temannya.
Besoknya, rombongan tadi kembali melakukan thawaf dan satu per satu mencium hajar aswad. Ternyata, Haji Mardu meneteskan airmatanya.
“Nah, akhirnya Pak Haji Mardu terharu juga,” komentar Haji Badrun.
“Iya, karena hati Haji Mardu kemarin itu belum siap,” timpal Haji Wardono.
Sambil sesenggukan, Haji Mardu menjawab, “ Belum siap apaan. Ketika aku mau mencium hajar aswad, asykar menggamparku.”

Terlalu Mahal
Di sekeliling ka’bah, ternyata banyak joki hajar aswad. Mereka menawarkan jasa membantu memandu jamaah mencium hajar aswad.Rata – rata 10 riyal per jamaah.
“Mahal amat!” protes Haji Bonari kepada penyedia jasa.
“Terserah Bapak. Kalau nggak punya uang nggak usah minta bantuan deh,” ujar mahasiswa penyedia jasa.
“Oke deh, 5 riyal,” tawar Haji Bonari.
“Bisa, Pak, tapi saya lempar sampai depannya.”

Parfum 1000 Bunga
Menjelang hari kepulangannya, seusai Thawaf Wada’, Hajah Luthfiyah berkesempatan melihat – lihat parfum di sekitar Pasar Seng. Matanya tertumbuk pada Parfum 1000 Bunga.
“10 riyal, Hajji. Kalam akhir,” ujar penjual parfum.
Setelah membuka – buka dompet, uang kecilnya ternyata tinggal sedikit.
“Beri aku 500 bunga saja, karena uangku tinggal 5 riyal,” tukas Hajah Luthfiyah.

Tak Pernah Sedih.
Haji Doddy termasuk haji yang acapkali kena musibah. Dari yang kecil sampai menengah. Namun beliau tidak pernah merasa sedih atau jengkel dan marah – marah. Ketika kejadian terakhir di Jabal Tsur, ia terjatuh di bebatuan sehingga tubuhnya berdarah – darah. Namun ia tetap tersenyum.
“Wah, saya heran. Pak Haji Doddy ini tidak pernah sedih. Banyak luka juga nggak sedih,” ujar Haji Zairin  sambil melap luka – luka Haji Doddy.
“Wajar dong, Pak, kan saya ikut Haji Tamattu’. Tamattu’ kan artinya gembira.”

Membawakan Air Zamzam.
Seorang jamaah haji terlihat paling sibuk membawakan air zamzam kemasan botol setiap harinya. Ibu Wanti, jamaah tersebut, terlihat begitu seringnya sehingga mengundang tanda tanya jamaah haji lain.
“Saya perhatikan Ibu Wanti rajin sekali membawakan air zamzam untuk jamaah lain. Apa tidak terlalu repot, Bu?” tanya Hajjah Munafah.
“Repot sedikit nggak apa – ap
a, Bu. Yang penting kan pahalanya 100.000 kali lipat kalau kita membawakan di tempat lain.”

Resep Haji Mabrur
“Kalau berdoa pakai nangis, biar hajinya mabrur.”
“Lho, kalau nangis apakah benar mabrur?”
“Nggak juga sih. Tapi, minimal menuju mabrur.”

Seragam Haji
Seandainya jamaah haji Indonesia dibuatkan seragam, maka akan tampak sekali ketika thawaf. Bukankah jamaah kita paling banyak?
Ketika ide ini saya sampaikan kepada seorang teman, ia menukas cepat, “Jangan membuka pintu korupsi lagi ah. Kasihan jamaah haji yang sudah banyak sabar menahan yang begitu itu.”

Lupa Hitungan
Seorang jamaah haji lupa menghitung putaran thawaf yang sudah ia lakukan. Rupanya ia tidak puas kalau tidak mengulang lagi dari awal. Tapi setiap mengulang selalu saja lupa sebelum sampai hitungan ketujuh. Karena terlalu capek, ia terduduk sambil menengadahkan kedua tangannya. “Ya Allah, sungguh Engkau Maha Tahu.”

Arah Putaran
“Mengapa orang thawaf arahnya putarannya ke kiri?”
“Memang ketentuannya begitu.Coba saja ke kanan, bisa terinjak – injak kau.”

Masjid Jin
Sepulang dari ziarah ke makam Siti Khadijah di Ma’la, Haji Mashudi mampir di masjid Jin. Ia sempatkan shalat sunah 2 rakaat di sana.
“Perasaan tadi banyak jamaah di dalam masjid. Namun ketika salam, tiba – tiba sudah tidak ada semua mereka,” ujar Haji Mashudi setengah linglung sesampai di hotelnya.
“Maksudnya siapa?” tanya Haji Basarun, temannya sehotel.
“Itulah yang  tidak saya ketahui. Apakah mereka jin?”
“Ah, mengapa tidak kautanyai sebelum shalat tadi?”

Pengemis di Gua Hira’
Gua Hira’ ternyata tidak hanya menyimpan sejarah karena di situ tempat Rasulullah menerima wahyu pertama kali. Kini gua tersebut di samping menarik minat peziarah, juga para pengemis dari berbagai negara. Ya, mereka mengemis sambil mengacung – acungkan paspornya.
“Ah, mengapa mereka harus jauh – jauh kemari hanya untuk ngemis, ya?” keluh Haji Humam kepada pembimbingnya.
“Bukankah Rasulullah sudah pernah menyampaikan: Kelak ada 3 golongan yang naik haji. Pertama, Kelas Atas yang naik haji dengan maksud berwisata. Kedua, Kelas Menengah. Mereka naik haji dengan maksud berdagang. Dan terakhir, Kelas Bawah. Mereka berhaji dengan maksud meminta – minta,” urai ustaz Waskita menyitir hadis. “Jadi wajar kan kalau ada orang jauh – jauh kemari hanya untuk mengemis?”

Contoh Memakainya
Haji Bakran memang terkenal usil dan suka ngerjain orang. Begitu juga berkesempatan menunaikan ibadah haji, penyakit itu masih juga melekat pada dirinya. Misalnya ketika ia membeli siwak.
“Berapa satu ikat, Mbah?”
“10 riyal, Hajji,” jawab penjual siwak yang sudah renta dan tanpa gigi itu.
“Oke deh. Beli 2 ikat. Tapi tolong diberi contoh cara memakainya ya!” pinta Haji Bakran.
Si kakek hanya melongo.

Serong Sedikit
Selesai  thawaf, haji Thohari melaksanakan shalat sunah 2 rakaat di belakang makam Ibrahim. Di sebelah kanannya haji Mahmud, ustaz yang membimbingnya.
Setelah takbir, haji Thohari membatalkannya. Ia mengubah posisinya dengan serong ke kanan sedikit. Merasa bertanggung jawab terhadap jamaah yang dibimbingnya, ustaz Mahmud menegur, “Mengapa Ente nyerong ke kanan? Bukankah Ente shalat persis di hadapan ka’bah?”
“Afwan Ustaz, perasaan masih di Tanah Air saja sehingga perlu menghadap ke kiblat,” jawab haji Thohari sembari tersipu.

Taubat
Si Bahlul adalah jamaah haji yang merasa dosanya paling banyak. Cita – citanya memang ingin bertobat dengan memanjatkan doa di depan multazam sebagai tempat yang makbul untuk berdoa.
Begitulah, ketika sampai di depan multazam langsung tersungkur dan berdoa sambil menangis, “ Ya Allah, ampunilah segala dosaku, baik dosa yang Engkau ketahui maupun dosa yang tidak Engkau ketahui…”


PERISTIWA DI MADINAH


Tempat Shalat Terpisah
Aiman memang orang yang kritis. Begitu juga ketika sampai di Madinah kekritisannya terhadap lingkungan tidak berkurang. Maka ketika ia melihat shaf shalat laki – laki dan perempuan dipisah ia penasaran.
“Mengapa di masjid Nabawi ini dipisah ya?”
“Man, Man. Apa kurang cukup sih. Di Masjdil Haram kan sudah dicampur, kok masih kurang juga.”
“Bukan begitu, kalau tidak dipisah kan bisa sama istri terus.”
“Justru itu, Man. Kenapa masih tidak cukup?”

Masih di Makkah
Seorang jamaah asal Pekalongan menuju toilet yang ada di masjid Nabawi Madinah. Sambil menuju lantai bawah melalui eskalator, Permana, jamaah tersebut membaca tulisan: “EXIT TO AL – HARAM” dan di bawahnya tertulis: “MAKHROJ ILA HARAM”.
Permana bingung membaca tulisan yang ada HARAM-nya itu. Karena tidak ingin terlalu lama bingung, ia mencolek temannya. “Mad, katanya kita sudah di Madinah, tapi tulisan di toilet kok masih di Al – Haram? Berarti masih di Makkah dong?”
Madroji terkekeh – kekeh. “Mana, Mana. Kau lupa ya kalau Madinah itu disebut juga tanah haram? Tanah Suci?”
Permana tak bisa mengempat senyum malunya.

Usia Kuburan Baqi’
Rombongan haji berkumpul di bawah bimbingan seorang ustaz. Mereka akan melakukan ziarah ke makam Baqi’. Ustaz Ridwan, sebagai pembimbing menjelaskan tentang sejarah makam, siapa saja yang dimakamkan, dan tata cara yang harus dijalani selama berziarah.
Salah seorang jamaah bertanya, “Kapan makam Baqi’ mulai difungsikan, Ustaz?” tanya Salimin.
“Jauh sebelum Rasulullah menetap di Madinah,” jawab ustaz Ridwan.
“Tepatnya kapan?” Salimin masih kurang puas.
Ustaz Ridwan tidak menyangka akan menghadapi pertanyaan semacam ini.
“1.425 tahun lebih 3 hari,” sahut Jazuli, jamaah yang lain.
“Kok begitu persis sih jawaban Bapak?” Salimin dan rombongan heran.
“Tiga hari yang lalu saya dapat informasi dari seorang pemandu, bahwa kuburan itu difungsikan sejak 1415 tahun yang lalu,”  jawab Jazuli dengan tenang.


Burung Kecil
Saat prasmanan makan siang di hotel tempat menginap, seorang ibu tidak beranjak dari tempat makannya. Ia sibuk mengamati lauk, yakni burung merpati goreng.
“Ada yang aneh, Bu?” tanya Haji Fadholi.
“Ah, enggak. Tapi saya heran kenapa burungnya kok kecil amat ya,” ujar Hajjah Asiyah masih heran.
“Wah, barangkali ini bukan burung Arab, Bu,” jawab Haji Fadholi.
Jamaah lain tidak bisa menahan tawanya.

Minum Jamu
Usai shalat arba’in, ternyata banyak jamaah haji yang kecapekan. Memang, mereka harus menyelesaikan shalat 5 waktu sehari selama 8 hari berturut – urut. Tidak boleh putus. Di samping berebut waktu, biasanya mereka juga menambah shalat – shalat sunah yang lain sehingga banyak menguras tenaga.
“Itulah, mengapa saya bilang sebelum melakukan shalat arba’in harus minum jamu nafsu shalat dulu,” celetuk ustaz Badrun bercanda.

Kehilangan Waktu
Abdul Ghafur mengadu kepada ustaz pembimbingnya bahwa dia telah kehilangan 1 waktu shalat pada saat arba’in sehingga tidak bisa berturut – urut. Dengan kecewa ia bertanya, “ Apakah masih bisa dianggap arba’in, Ustaz?”
“Arba’in kan artinya 40 Pak Ghafur. Kalau 39 berarti salatsu wa tis’un,” jawab ustaz Muhith.
“Kalau ditambah satu lagi, gimana?”
“Itu baru 40. Tapi jadi nggak urut to. Nggak usah sedih, meskipun kurang shalatnya, insya Allah tetap banyak deh pahalanya,” ujar ustaz Muhith dengan bijaksana.

Makam Ibrahim
Selesai berziarah ke makam Baqi’, rombongan kemabli ke hotel. Mereka saling membincangkan pengalamannya di Baqi’. Salah seorang jamaah yang sejak tadi menampakkan wajah keheranan akhirnya melontarkan keheranannya. “Ada yang masih mengganjal di benak saya. Kenapa tadi pemandu ziarah bilang kalau di situ ada makam Ibrahim. Seingat saya, makam Nabi Ibrahim itu berada di Palestina,” kata Haji Kusnan.
“Memang benar makam Nabi Ibrahim di sana,” sahut Haji Warubi.
“Lalu yang di Baqi’ itu?” Haji Kusnan masih belum dong.
“Itu kan Ibrahim anak Rasulullah,” jawab Haji Warubi.

Waktu Buka
“Mengapa sih makam Baqi’ dibuka hanya waktu – waktu tertentu?” tanya Hajah Waroyah penasaran.
“Lho, penjaga pintu gerbangnya kan adanya waktu – waktu tertentu juga,” jawab Hajah Tarsini cepat.

Jual Jasa Do’a
Beberapa kali berziarah di makam Baqi’, Hajjah Tiny masih memendam pertanyaan. Karena tidak tahan memendam masalah, bertanyalah ia kepada sesama jamaah haji.
“Mengapa selalu ada orang yang menjual jasa do’a ya?”
“Pastilah, Bu Hajjah Tiny. Banyak dari jamaah haji kan yang tidak tahu nama – nama yang menghuni makam. Kedua, banyak juga kan yang tidak bisa berbahasa Arab,” jawab Hajjah Neneng sekenanya.

Makam Abdurrahman bin ‘Auf
Memperhatikan makam konglomerat Abdurrahman bin ‘Auf  yang sangat sederhana, yakni tanpa bangunan dan hanya bernisan batu, banyak yang berbisik – bisik.
“Kok makamnya begini sederhana ya, padahal sahabat nabi ini orang yang kaya raya,” bisik Hajjah Muti’ah kepada Hajjah Munadah.
“Memangnya orang Indonesia? Baru sedikit punya uang saja sudah mengkijing makam secara mewah,” jawab Hajjah Munadah.


Air Zamzam Hangat
Kita pantas kagum dengan manajemen masjid Nabaw, terutama soal penggantian air zamzam yang tidak pernah kehabisan stoknya. Penggantian dan pengisiannya juga begitu cepat dalam bentuk drum kecil yang ditaruh di dalam masjid, hampir merata di seluruh bagian ruangan masjid.
Haji Duriyat sudah beberapa hari terserang batuk, oleh karena itu ia menginginkan khasiat air zamzam untuk menghilangkan penyakitnya. Sayangnya, justru yang dia temukan air zamzam dingin. “Wah, kok nggak ada yang hangat ya,” gumamnya ragu – ragu.
Beruntunglah ia bertemu dengan Haji Komar. “Makanya kalau tidak tahu bertanya. Jangan sampai malu bertanya sesat di dalam masjid,” ujar Haji Komar sambil menjelaskan bahwa air zamzam dingin bertuliskan bahasa Arab dengan cat hitam : “ mubarrid”. Sedangkan tulisan berwarna biru bertuliskan: “ghoiru mubarrid” yang artinya tidak dingin.

Salah Sangka
Seorang jamaah haji terlihat khusyu’ ketika berzikir di masjid Nabawi. Bahkan terdengar suara tangisan sesenggukan. Ia menangis di tengah suara orang – orang batuk. Ropanya ada jamaah lain yang memperhatikannya. “Ah, tampaknya khusyu’ sekali tadi ya. Sampai menangis segala.”
“Saya justru tidak khusyu’ kali ini. Mendengar suara batuk – batuk terdengar seperti suara kodok di kampung saya. Saya jadi rindu kampung.”
Busyet dah!

Lift Arab
Karena kelebihan muatan ( orang, lift yang dinaiki jamaah haji dari Indonesia tidak mau bergerak naik. Salah seorang jamaah akhirnya berbicara dengan lift.  Ternyata sami mawon. Tidak bergerak.
“Dasar lift Arab, tak paham bahasa Indonesia!” gerutunya tanpa mengingat dirinya sedang berhaji.

Pahala Umrah
Menurut hadits, apabila orang di Madinah berangkat ke Quba’ kemudian shalat 2 rakaat, maka pahalanya seperti melakukan umrah. Syaratnya, dari rumah atau dari tempat asal menjaga wudlunya.
Sulastri, hajah dari Indonesia sangat memimpikan itu. Oleh karena itu, dari masjid Nabawi sudah wudlu. Namun, sampai di masjid Quba’ rupanya batal. Setengah menyesal ia berujar, “Yah, kalau nggak dapat pahala umrah, setengahnya pun nggak apa-apa deh, Tuhan.”

Kurma Penangkal Racun
Menurut hadits, kurma ajwa berkhasiat sebagai penangkal racun. Menurut Rasulullah, kalau setiap pagi makan 7 butir, insya Allah kita akan terlindung dari bahaya racun.
“Apa betul bisa jadi penawar racun, Tuan?” tanya Haji Fahmi.
“Afa ente tidak percaya Rosul?” penjual balik bertanya.
“Bukan begitu,” tukas Haji Fahmi agak ngeper. “Tapi kalau ternyata mati juga gimana?”
“Ente funya fulus, ana kembalikan semua.”


Makam Ibrahim
Beruntung Nasori. Meskipun masih kecil sudah bisa berangkat ke Tanah Suci. Maklum  orangtuanya kaya raya.
Ketika di Madinah, Nasori diajak ayahnya ziarah ke Makam Baqi’. Betapa kagetnya Nasori ketika mengetahui bahwa makam Ibrahim sangat pendek. Larilah ia kepada ayahnya. “Ayah, ayah, apakah Nabi Ibrahim meninggal ketika masih kecil?”
Ayahnya bingung. “Oh, tidak nak. Beliau wafat pada usia 950 tahun dan dimakamkan di Palestina,” jelas Haji Baidlowi.
“Tapi mengapa di sini ada makam Ibrahim?”
“Oh, itu makam anak Rasulullah, Nak.”

Obat 1001 Macam Penyakit
Tergiur oleh iklan yang dapat menyembuhkan 1001 macam penyakit di pelataran masjid Nabawi, Hajah Novida yang sudah mengidap penyakit alergi yang tidak pernah sembuh – sembuh, akhirnya membeli satu botol. Sesampai di hotel, segeralah obat itu dicobanya. Sampai beberapa hari mempraktekkannya, ternyata obat tersebut tidak mujarab.
“Ente nipu ya. Sudah hampir habis obat ini ane pake, tapi belum sembuh juga!” protes Hajjah Novida.
Sembari tersenyum, penjual obat berkilah, “Jangan salahkan ane punya obat. Mungkin saja ente funya fenyakit yang ke – 1002.”

Antri di Depan Lift
Sudah menjadi kebiasaan, pada jam – jam makan siang jamaah haji selalu berebut. Maklum, di samping khawatir di urutan belakang antriannya, khawatir juga kehabisan menu utamanya. Tapi, ini kenyataan jamaah haji di KBIH Khusus.
Maka, sudah menjadi pemandangan umum, seusai shalat Dhuhur di masjid Nabawi, jamah berjubel di lift. Lebar dan panjang serta tak beraturan. Karena kesal menunggu lama, seorang jamaah nyeletuk, “Heran, di Madinah juga ada Hajar Aswad, ya.”

Hadiah Umrah.
“Bagi Anda yang bisa menjawab kuis berikut akan kami beri hadiah umrah 5 kali berturut – urut,” kata Ustadz Muzakir kepada jamaah bimbingannya.
“Lho, maksudnya gimana? Lima tahun berturut – urut?” sela Haji Yukari.
“Bukan. Saya akan traktir kalian ke masjid Quba’ sebanyak 5 kali. Bukankah dari Madinah ke Quba’ terus shalat sunah sudah dihitung 1 kali umrah?”
“Ah, Ustadz bisa aja.”

Siap Mati
Sehabis ziarah ke makam Baqi’, Haji Zaini bercerita kepada teman sekamarnya.
“Setelah ziarah, rasanya aku siap mati dan dikubur di Baqi’. Apalagi, di situ banyak orang top dikuburkan.”
“Wah, ente hebat. Berarti ente sudah mantab betul,” sahut Haji Akram.
“Tapi, pantaskah saya dikubur bersama – sama orang top ya? Rasanya kurang pantas,” Haji Zaini balik bertanya.
“Ah, dasar ente. Belum siap mati aja belagu.”

Waktu I’tikaf
Ada perilaku aneh seorang jamaah haji KBIH Khusus. Ia I’tikaf tidak istiqomah alias hanya pilih –pilih waktu, yakni waktu ashar saja.
“Mengapa ente tidak melakukannya selain waktu ashar?” tanya Haji Sultan.
“Well, katanya, “Ada dua hal mengapa saya melakukan demikian. Pertama, waktu tersebut pendek. Mendekati Maghrib. Kedua,  setelah ashar tidak ada antrian makan, jadi dijamin tidak kehabisan makanan,” jawab Haji Iful.
“Emang dasar…!”

Surat Panjang
Sudah banyak yang tahu bahwa bacaan surat ketika shalat jahr ( dikeraskan ) biasanya panjang – panjang. Namun banyak orang yang menyukai shalat di masjid Nabawi karena lagunya enak. Tentu tidak semua jamaah menyukainya, misalnya Haji Ronggur.Selesai shalat ia bertanya kepada jamaah lain, tentang surat apa yang imam baca tadi.
“Pada raka’at pertama surat An – Naml artinya semut. Raka’at kedua, An – Nahl artinya lebah,” jawab Ustadz Munir.
Ronggur mengangguk – angguk. Besoknya, ia tanya kepada ustadz apakah ada surat yang artinya bintang yang lebih besar dari lebah dan semut?
“Al – Fiil.”
“Apa artinya ustadz?”
“Gajah.”
“Semut dan Lebah saja sudah panjang, apalagi gajah. Tak ikut shalat aku.”
Wah, Ronggur salah paham, padahal surat Al – Fiil sangat pendek.

Lokasi Raudhah
Haji Sunarko memang patut diacungi jempol. Meskipun sudah tua, pensiunan ini rajin sekali menguber pahala. Hampir tiap malam berusaha memperbanyak amalan sunah dan shalat di raudhah. Bahkan, saking rajinnya, jam 2 dini hari sudah berada di halaman masjid Nabawi menunggu pintu dibuka. Ini semata – mata ingin beribadah di tempat yang makbul tersebut.
“Sebenarnya saya sudah sampai di raudhah belum ya,” cetusnya suatu kali. Pernyataan Haji Sunarko ini membuat rekan – rekan sehotelnya terkesiap. Bahkan nyaris menertawakannya kalau tidak menyadari bahwa pensiunan tersebut sungguh – sungguh dalam beribadah.
“Lho, bukankah Bapak sudah berkali – kali ke sana?” sahut Haji Irham.
“Tapi saya kurang yakin apakah saya sudah di sana,” dengan suara lemah Haji Sunarko berujar.
“Memangnya kenapa, Pak?” Haji Jahro ingin tahu.
“Kata orang, karpet di raudhah keputihan warnanya. Saya belum pasti betul karena di sana ada beberapa karpet.”
“Gini aja deh, Pak. Segala tempat yang jadi rebutan orang – orang Bapak kunjngi. Dijamin salah satunya adalah raudhah,” saran Haji Basith sekenanya.

PERISTIWA DI MINA

Tahallul Ni Ye…
Melaksanakan Rukun Islam yang kelima ada beberapa pantangan. Antara lain tidak boleh melakukan hubungan suami istri sebelum melakukan tahallul atau cukur rambut setelah melontar jumrah. Kalau kebelet, suami istri harus bisa mengempetnya, kalau tidak bakal didenda.
Tentunya, tahallul adalah kegiatan yang paling ditunggu – tunggu oleh pasangan suami istri. Oleh karena itu, ketika seorang istri memotong rambut suaminya, jamaah yang lain nyeletuk, “Tahallul ni yeee..” Mafhumlah suami istri yang disindir itu.

Tak Ada Kembalian
Seorang jamaah haji bermaksud melakukan tahallul. Ia berangkat ke barber shop agar potongannya rapi. Ia sengaja memilih barber shop yang sepi agar tidak antri panjang.
“Tuan Haji mau potong rambut biasa atau gundul?” tukang potong menawarkan pilihan kepada Pak Ahmadun.
“Tarifnya berapa?” tanya Pak Ahmadun kemudian.
“Kalau biasa 7,5 riyal. Kalau gundul cuma 2,5 riyal.”
“Saya memilih potong biasa,” ujar Pak Ahmadun.
Berjalanlah prosesi cukur mencukur. Setelah selesai Pak Ahmadun menyodorkan uang 10 riyal. Tukang potong sibuk mencari – cari uang kembalian, tapi tidak berhasil. “Maaf, nih Pak. Kembaliannya nggak ada.”
“Ya sudah, kalau begitu gundul saja sekalian, biar nggak perlu kembalian,” Pak Ahmadun dengan lugunya menyerah.

Salah Sangka
Selesai tahallul Pak Andalan kembali ke tenda di Mina. Wajahnya tampak murung. Padahal sebelumnya ceria. Sangat ceria. Mursalam, teman satu tenda mencoba menghiburnya tapi gagal. Bahkan, Pak Andalan tidak mau menjelaskan mengapa ia berubah murung.
Maka turunlah ustaz Muzakir untuk menghibur jamaah bimbingannya. “Saya paham, setiap orang akan sedih karena tahun – tahun yang akan datang belum tentu bisa kembali ke sini. Saya yakin pak Andalan juga memiliki perasaan yang sama. Tapi yakinlah, kehendak Allah kadang – kadang di luar perhitungan manusia. Jadi, Pak Anda tak perlu terlalu murung,” bujuk ustaz Muzakir.
“Maaf, Ustaz. Saya murung karena tidak membawa istri saya. Sementara yang lain setelah tahallul bisa langsung bermesraan dengan istrinya,” jawab Pak Andalah sambil tersipu – sipu.

Balas Dendam Setan
Sudah menjadi pengetahuan dan pengalaman umum bahwa tahallul biasanya ditandai dengan mencukur gundul. Lebih – lebih jika ustaz pembimbing. Maka, ketika ada salah seorang ustaz yang tidak memotong gundul rambutnya, ustaz yang lain meledeknya. “Hati – hati, Antum. Kalau tidak gundul setan yang tadi kena lemparan batu Antum masih mengenali lo. Ia bisa dengan mudah balas dendam.”


Ditakuti produsen Shampo
“Rukun Haji apakah yang paling ditakuti produsen shampo?”
“Apalagi kalau bukan tahallul. Kepala orang kan banyak yang gundul.”

Musyawarah Para Setan
Usai para jamaah haji melontar jumrah, para setan berkumpul di markasnya. Banyak setan mengeluh karena kepalanya berdarah – darah kena lemparan batu. Sebagian lagi mengeluh wajahnya benjol – benjol kena hantaman batu. Sebagian lainnya merasa sulit berjalan karena terinjak – injak manusia yang berebut melontar jumrah.
”Apa yang harus kami lakukan bos agar sakit hati kami terobati?” tanya salah satu setan yang wajahnya babak belur.
Setelah berpikir sejenak, Bos Setan, menjawab. “Begini saja. Kalian menyebar ke tenda – tanda dan maktab – maktab. Cari dan kenali setiap jamaah haji. Nah, balaslah jamaah yang telah menyakiti kalian semua!”
Bertebaranlah para setan.
Tak berapa lama, mereka kembali dengan lesu. Satu per satu melaporkan kegagalan misi mereka.
“Kenapa bisa gagal! Bodoh semua!” bentak bos seketika.
“Maaf, Bos. Mereka telah gundul semua, jadi kami sulit mengenali orang yang menyakiti kami….”

Siapa Tua Siapa Muda
Apa kesimpulan yang bisa segera diambil ketika jamaah haji melakukan tahallul?
Sulit membedakan laki – laki tua dan muda. Mereka tak punya uban lagi sih.

Catering dari Indonesia
Seorang jamaah haji mengendus – endus makanan yang disediakan dalam bentuk bungkusan. Rupanya ada jamaah lain yang memperhatikannya. Tak urung memancing pertanyaan. “Ada yang tidak beres Bu Nuridah?” tanya Hajah Suharti.
“Ini masakan dari mana sih?” tanya Hajah Nuridah. “Dari Indonesia,” jawab Hajah Suharti, maksudnya masakan Indonesia.
“Wah, pantas kalau basi. Dari Indonesia sih,” tukas Hajah Nuridah.

Khawatir
“Mengapa kamu tidak ikut Nafar Tsani?”
“Khawatir setannya sudah pada lari.”

Ambulance
“Mengapa tulisan “AMBULANCE” harus dibaca terbalik?”
“Karena bacaan Arab harus dari kanan.”

Pesawat Pemantau
“Mengapa pesawat pemantau yang berkeliling Mina menggunakan helikopter?” tanya Haji Sukron.
“Kalau pakai pesawat tempur bisa dikira ada perang, dong,” jawab Haji Makmun sigap.

Pintu Terbuka
“Mengapa pesawat pemantau pintunya terbuka?” tanya Haji Sukran.
“Karena tidak memakai AC. Takut gerah di dalam,” jawab Haji Warmo.

Lontar Pagi.
“Mengapa orang melontar jumrah Aqabah pada pagi hari?”
“Kalau malam setannya sudah pada tidur di rumahnya.”

Nafsu Melontar
Banyak jamaah haji yang terlalu bernafsu melontar jumrah. Bahkan dari sikap mereka, sebenarnya rawan kecelakaan. Tidak heran kalau sikap mereka yang kesetanan itu mengundang komentar sinis.
“Di sini aje ente berani. Coba di Jakarte!” komentar setan sinis.

Munafik
Haji Gento memiliki reputasi kejahatan yang luar biasa. Namun demikian, ia berusaha melontar jumrah dengan sungguh – sungguh. Bahkan sepenuh konsentrasi.
“Alaaah, di sini aja ente musuhin ane. Coba di Jakarte, ente bakal jadi sohib ane lagi dah,” cela setan sambil menyeringai.

Keroyokan
Satu rombongan haji melontar jumrah. Di dalamnya terdapat Haji Joleng yang terkenal pengecut. Maka, setan juga terpancing untuk mengomentari, “Halaa, ente beraninya keroyokan. Coba atu – atu, berani kagak.”

Kena Batunya
Seorang jamaah terkena batu di jidatnya setelah melontar jumrah. Karena keadaan sudah sepi, ia memungut batu yang mengenainya. Rupanya di situ tertulis ”sesama setan dilarang saling menyakiti.”


SMS dari arab
Bunyi SMS: TAHUN DEPAN TIDAK PERLU MELONTAR JUMRAH DI MINA. CUKUP DI INDONESIA. JUMRAHNYA KANTOR DEPAG.

Dua Lantai
“Mengapa jamarat ada 2 lantai?”
“Kok masih nanya sih. Dua lantai aja masih banyak terjadi kecelakaan.”

Dua Jalur
Memperhatikan frekuensi kecelakaan di jamaarat yang begitu sering, seorang pengamat penyelenggaraan haji memberi masukan. “Mengapa tidak dibuat jalur kepulangan dan kedatangan saja?” saran Haji Tarmizi.
“Memangnya bandara? Pakai dua jalur segala.”

Pelayan Terkaya
“Tahukah kalian siapakah pelayan terkaya di dunia?” tanya Haji Iqbal.
“Wah, sulit amat bikin teka – teki,” sahut Haji Salman.
“Gampang saja. Khadim al haramain al – Syarifain. Pelayan Dua Tanah Suci, yakni Raja Arab Saudi.”

Peluang Profesi
Dua orang jamaah haji sedang ngobrol santai.
“Ada peluang profesi selain jadi tukang cukur.”
“Apaan?”
“Jadi tukang kerok tubuh.”

Batu dari Muzdalifah
“Mengapa batu yang kita gunakan untuk melontar jumrah harus dari Muzdalifah?” tanya Haji Shoim.
“Allah Maha Pemurah. Coba kalau kita disuruh ngambil di Paris. Apa nggak tambah mahal tuh biayanya?” jawab Haji Rofi’i.

Batu di Luar Muzdalifah
Ketika melewati para jamaah yang sedang mengambil batu di luar area Muzdalifah, seorang sopir bus berkomentar, “Ngambil batu kok di luar Muzdalifah. Tidak bakal mati setannya!”
“Lho, kalau di Muzdalifah?” sela Hajjah Farhana.
Alasatun. Langsung koit!”

Batu Kecil
“Mengapa batunya harus kecil – kecil? Bukankah setan tidak mati dengan batu kecil?” tanya Haji Nirwan kepada pembimbingnya.
Pembimbingnya, Ustaz Tamim hanya tersenyum karena tahu bahwa Haji Nirwan orang yang tidak begitu saja mau menerima alasan.
Selesai melontar jumrah, Haji Nirwan cerita kalau kepalanya merasa sakit karena kena batu saat melontar jumrah.
“Nah, coba bayangkan seandainya batunya sebesar kepala orang,” ujar Ustaz Tamim sambil tersenyum penuh arti.
Haji Nirwan tersenyum kecut.

Tak Boleh Batu Besar
“Mengapa kita tidak boleh melontar jumrah dengan batu yang besar – besar?” tanya Haji Qarni.
“Kalau besar kan bisa tumbang. Kasihan jamaah yang melontar belakangan,” jawab Haji Rafli.

Cuma 7 Kali
“Mengapa kewajiban melontar jumrah hanya 7 kali setiap lontarnya?” tanya Hajah Fatimah.
“Kalau 1000 kali sekali lontar, memang kuat?” Hajah Dzuriyah balik bertanya.

Batu Besar
Seorang jamaah haji mengambil batu – batu besar untuk bekal lontarnya. Oleh temannya tentu saja ditegur karena tidak lazim.
“Ini kan sama dengan 7 batu kecil,” kilah Haji Ramadhan sambil menunjukkan satu batu besar.
“Ah, nggak boleh itu. Kayak shalat aja dirangkap,” tukas Haji Baldan.
“Nggak boleh ya. Saya kira boleh..”

Nama Rombongan
Karena adanya pembatalan penambahan kuota, banyak calon jamaah haji yang mengalami masalah. Salah satunya Iskandar. Dalam rombongan KBIH Khusus, Iskandar menggunakan paspor coklat, tidak memiliki gelang maktab, juga tidak memperoleh nama rombongan. Sementara dalam KBIH tersebut sudah ada nama Al – Fath, Al – Amien dan Al – Hidayah. Pesan dari pemilik KBIH agar rombongan yang tidak kebagian kelompok khusus ( bernama ) harus mengikuti  rombongan sesuai instruksi Ketua Rombongan.
Bagi Iskandar dan kawan – kawan, susah juga kalau harus mengumpulkan dan memanggil anggota rombongan. “Ini rombongan apa?” sapa seorang pembimbing.
Spontan ada yang menjawab, “Rombongan al – Hamdulillah,Pak,” celetuk Haji Aliman.
“Lho!”
“Ya, Pak. Soalnya bisa berangkat saja kami sudah alhamdulillah!” tambah Iskandar.

Membawa Kambing.
Setelah selesai melontar jumrah Aqabah, banyak orang membawa kambing hadyu ( kurban ) ke bukit Mina. Jumlahnya lumayan banyak. Seorang jamaah heran mengapa kambing – kambing itu dibawa ke sana.
“Mengapa mereka membawa kambing – kambing itu ke sana?” tanya Haji Asghar.
“Habis kalau membawa unta terlalu berat. Jadi cukup kambing sajalah,” ujar Haji Muhsinin santai.

Kain Ihram Jatuh
“Tadi saya dengar ada kegaduhan di dekat jamarat,” cetus Haji Isnaini.
“Memang ada apa?” tanya Haji Husnun.
“Kain ihram jatuh dari lantai 2.”
“Apanya yang menarik? Gaduh karena pemakainya jadi telanjang dan malu?”
“Sama sekali bukan. Kain ihram itu masih menempel di badan orang!”

Berita Hangat
Menjadi wartawan haji senang – senang susah. Senangnya karena bisa menjalankan ibadah haji sambil menjalankan tugasnya. Nggak enaknya kalau sudah sampai di   Mina. Hampir tiap hari ditanya mengenai kabar hangat tentang pelontar jumrah, “Sudah ada kurban belum? Berapa jumlahnya? Dari mana saja mereka?”

Besok Saja
Malang bagi Pak Sobari. Sebagai warga Surabaya yang ikut Biro Haji di Jakarta, ia tidak pernah mengikuti manasik yang diselenggarakan oleh biro tersebut. Malangnya lagi, ia belum pernah mengikuti pengajian haji dan juga belum pernah membaca buku – buku tentang haji.
Ketika di Mina, dan menjelang berangkat ke Arofah untuk wukuf, ia merengek kepada ustaz pembimbingnya. “Ustaz, kenapa mau wukuf sekarang? Cuaca sangat panas. Lagipula hari ini tampaknya sesak sekali. Barangkali besok sudah lengang,” ujar orangtua ini memelas.
“Lah, ketentuannya memang tanggal 9 Zulhijjah, Pak Sobari. Dan serentak hari ini. Kalau besok bukan wukuf namanya.”


PERISTIWA DI AZIZIYAH


Lift Mogok
Apartemen di Aziziyah ternyata banyak yang kurang layak. Termasuk fasilitas liftnya. Meskipun beban yang ada di dalmnya masih jauh di bawah kapasitas, ternyata bisa macet.
Hal ini dialami oleh Haji Najib, Haji Soni dan Haji Thoyib. Ketika mereka mengejar waktu maghrib di masjid terdekat, tiba – tiba lift macet.
“Wah, dosa kita terlalu banyak kali. Sampai lift pun nggak kuat ngangkat,” ujar Haji Najib.
“Yah, semoga setelah wukuf tubuh kita jadi lebih ringan,” timpal Haji Thoyib sambil tertawa.



PERISTIWA DI ARAFAH

Mempererat Pasutri
Di sekitar Jabal Rahmah, banyak jamaah haji yang memanfaatkan waktunya untuk membuat kenangan pribadi dengan berfoto ria.Maklum, di samping pemandangannya indah, Jabal Rahmah adalah tempat bersejarah bagi umat Islam.
“Untuk kenang – kenangan Pak, Bu. Foto untuk mempererat suami istri. Bukankah di sini dulu bertemunya Adam dan Hawa setelah 200 tahun berpisah?” rayu tukang foto polaroid kepada Pak Sudargo dan istri. “Cuma 5 riyal sekali jepret kok.”
“Wah, kalau begitu  kami harus berpisah dulu dong, baru ketemuan di sini,” ujar Bu Sudargo santai.

Terhindar Rafats
“Alhamdulillah, akhirnya saya terhindar dari rafats.”
“Bagaimana kamu menghindarkannya?”
“Karena saya tidak membawa istri. Mana mungkin saya rafats?”

Belum Dikubur
Ketika Ketua Maktab Asia Tenggara berkunjung ke tenda saat wukuf, listrik kebetulan mati. Ruang terbuka yang diterangi bintang – bintang itu tidak membuat hilangnya keceriaan para jamaah haji. Rupanya padamnya aliran listrik juga dijadikan bahan lelucon oleh Ketua Maktab Asia Tenggara. “Listrik mati ya…”
“Iya, sudah dari tadi,” jawab jamaah berebutan.
“Sudah dikubur belum? Kok masih bau bangkai?”
Jamaah tertawa. Rupanya orang Arab ini tidak hanya pintar bahasa Indonesia tapi juga berkelakar.

Khawatir Hilang
Setelah 200 tahun berpisah, Adam dan Hawa bertemu di Jabal Rahmah. Mereka saling melepas rindu. Bahkan, mereka tidak menginginkan lagi berpisah kalau bukan karena Allah. Malam harinya Adam tertidur pulas. Hawa teringat sesuatu. Lalu diraba – rabanya rusuk kanan Adam.
“Hai, ngapain sih kok pegang – pegang rusuk?” ujar Adam terbangun. Kesal.
“Maaf, Bang. Saya khawatir tulang rusuk kanan abang tidak ada lagi,” sahut Hawa tersipu – sipu.
Dasar perempuan, pencemburu.


Patung Sepeda
Di kota Jeddah ada patung sepeda yang berukuran raksasa. Orang – orang yang melewatinya pastilah terpesona karena ukurannya kelewat super.
“Sepeda siapa ya? Aku nggak bisa ngebayangin orang yang menaikinya.”
“Katanya sih sepedanya Nabi Adam.”

Makam Hawa
Ketika rombongan haji menuju Laut Merah, seorang pemandu wisata menunjuk tempat yang dilewati rombongan. Sebagai pemandu, spontan ia menjelaskan. “Di situlah Bunda Hawa dimakamkan.”
“Lho, mengapa Anda tahu betul bahwa di situ makam Siti Hawa padahal rentang hidupnya kan begitu jauh dengan masa kini?” tanya si usil, Hajah Marliani.
“Ya, enggak juga sih. Tapi kalau ingin  memastikannya tunggu saja di situ terus – menerus.”
“Maksudnya?” tanya Hajah Marliani bingung.
“Kalau Adam berziarah berarti memang benar di situ makamnya.”

Berebut Posisi
Hampir di setiap kesempatan bepergian dengan bus, rombongan haji selalu berebut mencari tempat yang paling enak. Apalagi kapasitas kursi di bus kadang kurang sehingga harus ada yang berdiri.
Ketika rombongan haji mau jalan – jalan ke Laut Merah, mereka juga berebut masuk duluan. Akibatnya ada yang membuka pintu sopir.
“Kecele ni ye…” Maklum kebiasaan di Indonesia masuk dari pintu kiri, sementara di Arab melalui sebelah kanan.

Besok Saja
Malang bagi Pak Sobari. Sebagai warga Surabaya yang ikut Biro Haji di Jakarta, ia tidak pernah mengikuti manasik yang diselenggarakan oleh biro tersebut. Malangnya lagi, ia belum pernah mengikuti pengajian haji dan juga belum pernah membaca buku – buku tentang haji.
Ketika di Mina, dan menjelang berangkat ke Arofah untuk wukuf, ia merengek kepada ustaz pembimbingnya. “Ustaz, kenapa mau wukuf sekarang? Cuaca sangat panas. Lagipula hari ini tampaknya sesak sekali. Barangkali besok sudah lengang,” ujar orangtua ini memelas.
“Lah, ketentuannya memang tanggal 9 Zulhijjah, Pak Sobari. Dan serentak hari ini. Kalau besok bukan wukuf namanya.”

Tak Pakai Masker
Pada musim kering, utamanya saat siang hari, di Arofah banyak debu beterbangan. Di samping membayakan mata kita, debu bisa menyebabkan batuk. Oleh karena itu, para jamaah disarankan memakai masker. Namun, ada jamaah yang tidak mau memakai masker.
“Mengapa Pak Haji nggak pakai masker?” tanya pembimbingnya.
“Takut disangka dokter, Ustaz,” jawab Haji Gombo.”Entar ditanya – tanya jamaah gak bisa jawab.”

Tak Tahan Masker
Karena cuaca yang tidak nyaman bagi kesehatan fisik jamaah, dokter Doddy menasehati jamaah agar memakai masker. Sebagian besar jamaah menuruti nasehat dokter Doddy, tapi Haji Haris tidak. Namun, karena dibujuk – bujuk terus oleh jamaah lain, akhirnya Haji Haris mau juga pakai masker. Tapi betapa kagetnya ketika di bagian kedua lubang hidungnya berlubang.
“Lho, mengapa dilubangi maskernya?” tanya dokter Doddy heran.
“Saya nggak tahan dokter. Nggak bisa nafas,” jawab Haji Haris memelas.

Yang Duduk di Atasnya
Haji Kabul membawa foto kenang – kenangan dari Jabal Rahmah, yakni foto temannya, Haji Kusen Dengan anggun. Haji Kusen duduk di atas unta dengan sebagian besar kepalanya terbalut surban.
“Ini foto siapa, Pak?” tanya anak Haji Kabutl.
“Oh itu kenalan baru Bapak. Haji Kusen.”
“Lalu, yang duduk di atas Haji Kusen itu siapa?” tanya anaknya polos.


PERISTIWA DI JEDDAH


Kok Tidak Sama
Haji Zainudin membeli radio tape yang ada penunjuk waktunya. Setelah penunjuk waktu di-set, ternyata angkanya tidak sama dengan arloji yang sedang dipakainya. Akhirnya ia batal membelinya.
“Memang kenapa Pak Haji kok tidak jadi beli?” tanya penjual dengan bahasa Indonesia terpatah – patah.
“Radionya nggak sama dengan jam saya,” jawab Haji Zainudin.
“Yang benar aja, Pak. Masak radio disamakan dengan jam?” sahut penjual dengan sewot.
Kehilangan Air Zam – Zam
Saat boarding pesawat menuju Tanah Air, Haji Rif’an menyadari telah kehilangan air zamzamnya. Ia gelisah karena tidak mungkin lagi turun dari pesawat dan membeli di bandara King Abdul Aziz.
“Gimana, enaknya, Pak ya?” tanyanya kepada Haji Murod yang berada di sampingnya.
“Gini aja. Sesampai di Jakarta nanti beli jerigen lalu diisi air. Bagilah sedikit – sedikit kepada handai taulan yang memintanya. Jangan banyak – banyak biar nggak ketahuan,” saran Haji Murod setengah bercanda.
“Berbohong dong kalau begitu,” jawab Haji Rif’an ragu – ragu.
“Makanya, mau jadi orang jujur apa nggak? Kaatanya mau mabrur?”

Di Tengah Pasar
Kota Jeddah memiliki banyak julukan. Ada yang menjuluki “Kota Bidadari”, “Bandar Internasional”, ada pula “ Kota di Tengah – tengah Pasar.” Makanya ketika di Pasar Balad ada jamaah haji yang melontarkan tebakan.
“Di tengah – tengah pasar ada apanya?” Haji Dasuki memberikan tebakan kepada Haji Asrul.
“Kota Jeddah, pasti.”
“Yang benar ada S – nya,” jawab Haji Dasuki.


PERISTIWA DI DAERAH ASAL

Makbul
Jabal Rahmah adalah tempat yang makbul untuk berdoa. Tersebutlah sepasang suami istri yang datang ke sana. Dengan bahasa Arab, Haji Bunyamin berdoa. Sementara istrinya mengaminkannya.
Tiga bulan setelah kepulangannya, Haji Bunyamin memberitahukan kepada istrinya bahwa ia akan menikah sebulan lagi.Kontan istrinya marah – marah.
“Lho, Ma. Bukankah waktu di Jabal Rahmah, mama mengaminkan doa papa?”
Istrinya menangis sejadi – jadinya.

Bedanya
Pada acara syukuran kepulangan haji, berkumpullah para tetangga di rumah Haji Sokran. Aneka suguhan terhidang di sana. Tak ketinggalan kacang Arab.
Di saat asik – asiknya perbincangan, salah seorang tamu bertanya, “Pak Haji Sokran, apa sih bedanya kacang Arab dengan orang Arab?” tanya Muladi.
“Kacang Arab kecil – kecil. Orang Arab tinggi – tinggi dan gede – gede,” jawab Haji Sokran tangkas.
Hadirin tertawa semua.”Kalau persamaannya, sama – sama ada Arabnya,” sambung Haji Sokran.

Paling Rakus
Masih seputar syukuran kepulangan haji. Di rumah Haji Dulatip ternyata juga sedang ramai orang karena menyambut tuan rumah yang baru pulang haji. Suguhan utamanya air zam – zam dan masing – masing 5 biji kurma.
Salah satu tamunya adalah Markijo yang terkenal paling usil di kampung itu.
Selesai makan kurma, rupanya keusilan Markijo kambuh. Ia memindahkan biji – biji kurmanya di depan Mardanus yang duduk di sebelahnya.
“Tak kusangka, ternyata Pak Mardanus paling rakus di antara kita ya. Lihatlah,” ujar Markijo sambil menunjuk bekas suguhan Mardanus, “ Pak Mardanus habis 10 kurma, sementara yang lain cuma 5 biji.”
Rupanya Mardanus tidak kalah akal.
“Saya kira Pak Markijo paling rakus. Ia tidak hanya makan buahnya, bahkan biji – biji kurmanya pun dilahapnya,” sekak Mardanus. Markijo kalah telak.

Makanan Halal
Biasa bahwa sepulang haji bakal ditanggap ceritanya. Syukur – syukur cerita – cerita yang belum pernah didengar para tamunya. Begitu juga ketika Haji Jamhur pulang haji.
“Jadi paling susah sebenarnya apa sih Pak Haji?” tanya Sukiran.
“Mencari makanan halal,” jawab Haji Jamhur.
“Lho, katanya di sana tidak ada makanan haram?”
“Makanan halal maksudnya makanan gratis.”
“Oh, saya kira….”

Berubah Setelah Haji
Obrolah saat rehat di kantin kantor.
“Hebat ya, Pak Andri. Setelah menunaikan ibadah haji langsung berubah,” celetuk Sugimo.
“Hebat apaa. Setelah 6 bulan pulang haji kelakuannya tidak berubah begitu. Masih saja kolusi dengan mitra kerja dan shalatnya tidak tepat waktu,” sahut Sunandar berapi – api.
“Tapi saya melihat ada perubahan kok.”
“Perubahan apanya?”
“Di depan namanya ada huruf H – nya.”
“Ah, saya kira perbuatannya.”

Haji Mabrur
“Hebat ya, suami Bu Ammah. Hajinya mabrur.”
“Bukankah tanda – tanda haji mabrur perilakunya menjadi baik?” Sudiro mempertanyakan.
“Memang demikian.”
“Tapi saya tidak melihat perubahan itu.”
“Bukankah namanya Mabrur? Wajar dong kalau disebut Haji Mabrur.”

Mafie Muskilah
Di hotel Radison, Jeddah, Haji Bakar melihat – lihat toko souvenir. Tertumbuklah matanya pada sebuah kaos dengan aneka gambar kartun yang lucu. Salah satunya adalah kaos bergambar Unta yang sedang naik mobil dengan tulisan mencolok “MAFIE MUSKILAH”.
Sesampai di kampung halamannya, dibagilah kaos – kaos tersebut.Salah satu yang memperoleh oleh – oleh penting adalah Kamidin.
“Terima kasih, Pak Haji Bakar. Tapi, ngomong – ngomong, apa arti MAFIE MUSKILAH ini ya? Saya takut salah kalau ada yang nanya.”
Setelah berpikir sejenak, Haji Bakar dengan sok tahu menjawab, “ Oh itu, artinya UNTA SIRKUS.”
Padahal arti sebenarnya adalah NO PROBLEM alias TAK MASALAH.

Berhadapan
“Boleh nggak Cung kalau posisi imam shalat berhadapan dengan makmum?” tanya Suyana kepada Kacung.
“Wah, ya nggak boleh. Nggak sah shalatnya. Kalau nggak percaya tanya saja ke ustaz Murtadho.”
“Bapak saya bilang boleh.”
“Wah, jelas ngawur bapakmu itu.”
“Waktu naik haji, Bapak lihat sendiri kok di sekitar Ka’bah begitu,” jawab Suyana.
“Oh, iya, ya.”

Jadi Imam Masjidil Haram
Sepulang dari haji, Irwan ditanya kesan – kesannya oleh para tetangganya.
“Yang paling berkesan apa, pak Haji Irwan?” tanya Wiryono.
“Semua berkesan. Tapi paling berkesan ketika diminta menjadi imam shalat di masjidil Haram…”
“Ha! Hebat kali kau, Irwan,” respon Situmorang.
Haji Irwan tersenyum simpul.
“Lho, katanya imam masjidil Haram orang yang tinggal lama di sana?” tanya Wiryono tak percaya.
“Memang sih. Aku kan cuma imam shalat jama’ Dhuhur dan ‘Ashar karena mau berangkat ke Madinah.”
“Jadi…?”
“Makmumnya cuma 3 orang, kok he…he…”
“Oladalah….”

Beda ONH Plus Dan Biasa
Sepulang dari menunaikan haji, rumah Haji Dahlan didatangi banyak tamu. Berbagai pertanyaan dilontarkan para tamu. Haji Dahlan menjawabnya satu per satu sebisa mungkin sehingga dapat memuaskan penanya.
“Sebenarnya apa sih Pak bedanya ONH Plus dengan yang biasa?” tanya Dalijo sungguh – sungguh.
“Di samping bayarnya mahalan ONH Plus. Ibadahnya juga lain,” Haji Dahlan menggantung jawaban.
“Maksud Pak Haji?”
“Kalau ONH Biasa ibadahnya kenceng dan pahalanya buanyak. Kalau ONH Plus ibadahnya kurang karena banyak  tinggal di hotel,” canda Haji Dahlan sambil tersenyum.

Kacang Arab
Menikmati hidangan kacang Arab, Cholis jadi berpikir dan membanding –bandingkan.
“Pak Haji, kenapa ya kacang Arab kok kecil – kecil begini?”
“Kalau panjang namanya jadi kacang panjang dong,” jawab Haji Kaelani sambil tertawa.

Haji Tamattu’
 “Aduh, saya perhatikan Bu Geby tambah gemuk saja   sepulang haji,” celetuk Bu Suzan.
“Wah ya gini ini Bu risiko ikut Haji Tamattu’,” jawab   Hajah Geby.
“Lho, kok bisa begitu?”
“Haji Tamattu’ itu kan haji tangi- mangan – turu alias bangun – makan – tidur. Jadi wajar dong kalau gemuk,” sambil senyum Hajah Geby menjawab.

Rugi
Seorang jamaah haji KBIH Khusus mengeluh karena tidak bisa mencium hajar aswad.
“Rugi saya, KBIH Khusus tapi tidak included mencium hajar aswad,” keluh Haji Burnani.

Haji Tomat
“Wah, saya heran. Mengapa sepulang haji ia kumat lagi kelakuannya,” Haji Basir sedang membicarakan Haji Aljari.
“Nah, itu yang disebut Haji Tomat. Setelah tobat kemudian kumat,” timpal Haji Sonhaji.

Radio Bodoh
Haji Masrin kesal dengan radio sakunya. Radio yang ia beli di Pasar Balad Jedah itu kini tidak lagi bisa berbahasa Arab. Padahal semasa di Jedah pintar sekali ngaji dan pidato bahasa Arab.
“Huh, kenapa setelah di Indonesia jagi goblok begini, ya?” keluhnya tanpa henti.

Tak Menoleh
Beruntunglah Leman karena bisa menunaikan ibadah haji. Sebagai orang yang hidupnya  pas – pasan, ia tergolong hebat karena mau berhemat demi menjalankan kewajiban sebagai muslim.
Sore itu Haji Leman mau berangkat ke masjid. Oleh tetangganya ia dipanggil – panggil, “Pak Leman, Pak Leman! Mau ke mana?” teriak Kartolo.
Haji Leman tetap tidak menoleh.
“Pak Leman! Pak Leman! Tunggu, saya ingin menyampaikan sesuatu kepada Bapak!”
Haji Leman tetap tidak menoleh. Akhirnya dengan napas ngos – ngosan Kartolo berlari menyusulnya.
“Kenapa sih Pak Leman saya panggil – panggil tapi tidak menoleh?”
“Enak aja panggil – panggil Pak Leman. Saya kan sudah haji susah – susah ngumpulin duit bertahun – tahun. Masak tidak dipanggil Pak Haji Leman juga?”
“Oh, maaf deh Pak Leman, eh Pak Haji Leman…”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar