Haram! Haram!
Aat Ma’rifat, haji asal Subang itu memang getol
mencari pahala. “Mumpung di dieu,” ujarnya dengan senyum penuh harapan.
Oleh karena itu, Jumat pagi ia keluar dari
apartemennya di Aziziyah untuk berangkat ke Masjidil Haram. Karena jaraknya
dekat dan ia merasa sudah hafal jalannya, maka ia berangkat sendirian.
Berdiri di jalan dekat apartemnnya, ia menunggu bus
lewat. Beberapa kali bus berhenti menyahuti isyarat tangannya, tapi kondekturnya
teriak – teriak, “Haraaaam! Haraaaam!”
Akhirnya, Aat yang sudah mendekati pintu bus,
mengurungkan niatnya.
“Sialan, kenapa berhenti kalau tidak boleh naik?!”
gerutunya.
Padahal,
maksud supir bus ke masjidil Haram.
PERISTIWA DI DAERAH ASAL
Kategori Haji
Ketika memberikan ceramah pada acara walimatus safar,
ustaz Sirojuddin memberikan uraian yang sangat menarik, yakni membahas
kategori kemampuan orang naik haji.
Pertama, kata ustaz Siroj, orang naik haji karena
kemampuan dan biaya diri sendiri. Maka haji semacam ini disebut Haji Nishab.
Kedua, berangkat haji karena biaya keluarganya. Yah
seperti saya dulu, kata ustaz Siroj, dibiayai orangtua saya. Maka haji semacam
ini disebut Haji Nasab.
Terakhir nih, seperti Bapak Hasan Bisri ini. Ia kan berangkat
atas biaya kantornya yang sebelumnya diundi dulu dari sekian ratus karyawan.
Maka haji yang demikian ini disebut Haji Nasib.
Para hadirin tertawa terpingkal – pingkal. Hasan Bisri,
si shahibul hajat tersipu – sipu.
Kiat Cepat Naik Haji
Di suatu majlis taklim yang sedang membahas topik haji,
seorang ustaz membocorkan rahasia cepat bisa naik haji.
“Apa saja itu, Pak Ustaz?” tanya Utawi, jamaah loyal yang
ingin segera naik haji, tapi terbentur oleh biaya.
“Gampang. Baca saja surat Yaa Siin 1000 X setiap malam
Jumat selama 40 hari.”
“Kalau belum juga bisa naik haji, Ustaz?”
“Buka surat yang lain. Baca surat Al – Hajj.1000 X setiap malam Jumat selama
40 hari.”
“Kalau masih gagal juga, Ustaz?” Utawi
masih bernafsu.
“Buka
deh surat – surat tanah. Ambil saja 1000 meter persegi. Cepet dah pergi,” jawab
Ustaz Baroto yang dari awal sebenarnya bercanda.
Kamus Haji
Ini
yang perlu diketahui.
1.
Haji Mansur : naik haji karena halamannya digusur.
2.
Haji Abidin : haji atas biaya dinas
3.
Haji Halimah : haji sampai halim lalu ke rumah
4. Haji Abu Bakar : haji atas budi baik golkar.
5.
Haji Simatupang : haji siang malam tunggu panggilan ( waiting list )
6.
Habib : haji atas biaya barteran.
7.
Haji Kosasih : Haji karena Ongkosnya Dikasih
80% Kepala
Kamdi
diminta foto ulang oleh petugas pendaftaran haji karena pas foto yang diberikan
ukurannya standar umum. Sementara yang dikehendaki panitia adalah menonjolkan
wajah.
“80%
tampak muka ya, Pak Kamdi.”
“Mengapa
harus tampak 80% muka?”
“Soalnya
kalau 80% kaki malah kita nggak tahu foto siapa nantinya,” jawab panitia
diplomatis.
Kena Batunya
Seorang
jamaah terkena batu di jidatnya setelah melontar jumrah. Karena keadaan sudah
sepi, ia memungut batu yang mengenainya. Rupanya di situ tertulis ”sesama
setan dilarang saling menyakiti.”
PERISTIWA
DI JEDDAH
Puntung Rokok
Istirahat
di bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah, Sugriman tidak tahan menahan
asam mulutnya. Ia bergegas mencari tempat yang nyaman untuk merokok. Ketemulah
restoran terbuka. Ketika memperhatikan lantainya, ternyata ada 2 batang puntung
rokok di sana.Tapi, Sugriman tetap menghormati aturan di negeri orang, takut
kalau ada denda yang dia sendiri tidak kuat membayarnya. Bertanyalah ia kepada
asykar yang bertugas di situ. “Bolehkah saya merokok di sini, Pak?”
“Oh,
tidak boleh.”
“Tapi,
mengapa ada puntung di lantai ini?” kilah Sugriman.
“Oh, itu. Ia tidak minta ijin dulu sih. Anda kan minta ijin dulu.”
Foto Siapa
Selepas pemeriksaan paspor di imigrasi bandara King Abdul
Aziz Jeddah, seorang istri iseng – iseng membuka paspor suaminya. Hullya, calon
hajjah dari Klaten ini terperanjat ketika melihat pas foto perempuan yang
menempel di paspornya.
“Mau pergi haji tapi masih nggak bener juga kelakuannya,”
kesal Hullya sambil cemberut.
“Maaf, ibu ini ngomong apa sih? Kok tiba – tiba cemberut
begitu?” Tomo, suaminya bingung.
“Jangan pura – pura tak mengerti. Ini buktinya. Mau mengelak lagi?!” todong Hullya garang.
Tomo memandangi sejenak. Ia tidak mengenal wajah
perempuan dalam foto itu. “Ini pasti nggak beres saat nyetempel paspor,” jawab
Tomo kemudian.
Tomo sudah menjelaskan kemungkinan salah satu foto
jamaah tertempel di situ. Bukankah setiap orang membawa banyak foto? Tapi
istrinya masih saja cemberut.Setelah pembimbing menengahi barulah istrinya
tersenyum lega.”Saya yakin, Bapak ke sini mau beribadah, bukan mau macam –
macam, Bu. Lagi pula rasanya nggak ada tampang ya kalau Pak Tomo itu
kelakuannya begitu.”
Jangan Dicopot
Setelah mendarat dengan selamat, pramugari mengumumkan
bahwa sabuk pengaman boleh dilepas. Rupanya jamaah haji yang baru pertama kali
naik pesawat melepas kedua sabuk yang dipakainya: sabuk pengaman dan sabuk
celana.
“Aduh, Bapak, nanti bemonya kelihatan. Sabuk yang ini
jangan ikut dicopot ya,” bujuk pramugari sambil menunjuk celana panjang
Pak Tanthowi.
Amien, Amien, Amien
Sambil menahan kantuk, Haji Bunayya mendengarkan
khotbah Jumat Syekh Abdurrahman Sudais di masjidil Haram. Khutbah itu begitu
panjangnya. Begitu pula khutbah keduanya. Sambil terkantuk – kantuk, ia
mengangkat tangannya mengaminkan,”Amien! Amien! Amien!….”
Haji Hartono yang duduk di sebelahnya langsung menegur
dengan isyarat jari menutup mulutnya.
“Oh, saya kira khotib sedang berdoa,” jawab Bunayya
masih tidak tahu ketika mendengar khutbah Jumat.
Pakaian Imam
“Mengapa imam masjidil Haram memakai gamis warna putih
ya?”
“Lha kalau memakai gamis batik nanti dikira shalat di
kota Pekalongan.”
Bedanya
Dua orang haji sedang berbincang santai.
“Apa sih bedanya masjidil Haram dengan masjid Nabawi?”
“Masjidil Haram di Mekkah dan Nabawi di Madinah. Gitu aja
kok repot.”
Di Depan Multazam
Percakapan dua jamaah haji sambil rehat.
“Mengapa imam shalat selalu berada di depan Multazam ya?”
“Memang boleh kalau berada di halaman masjidil Haram?”
Memotret Ka’bah
Demi untuk kenang – kenangan sesampainya di Tanah Air,
Hajjah Rina bermaksud memotret ka’bah dengan handphonenya. Kepada asykar, Rina
meminta ijin.
“Bolehkah saya memotret ka’bah?”
“Haram! Haram! Tidak
boleh, tidak boleh!Ini tanah haram.”
“Tapi, teman saya sehotel kok boleh memotret?”
“Nah, karena dia tidak minta ijin dulu,” jawab asykar
diplomatis.
Salon Arab
“Ada yang menarik dari salon laki – laki di Arab,”
pancing Haji Munawir kepada temannya.
“Apa itu Pak?” tanya Haji Markum penasaran.
“Pemanas rambutnya menghadap ke bawah.”
“Lho, kok bisa begitu?”
“Sebab yang dipanasi bukan rambutnya, tapi
jenggotnya.”
Thawaf di Luar Masjid
Orang Indonesia memang terkenal suka berbelanja.
Bahkan menurut survei, income terbesar pedagang – pedagang di Pasar Seng,
Makkah karena keroyalan jamaah haji Indonesia. Ini juga sudah diketahui ustadz –
ustadz pembimbing. Oleh karena itu, untuk menghindari rasa malu dan pekewuh,
jamaah haji menggunakan bahasa simbol. Belanja sama dengan thawaf.
Nah, ini kejadian di saat rombongan haji sedang
mengikuti kuliah Dhuha di selasar hotel. Ibu – ibu tampak gelisah. Sesekali
berbisik – bisik satu sama lainnya. Rupanya ustaz menyadarinya. “Sudah pada mau
thawaf di Pasar Seng ya, kok kelihatannya nggak khusyu’,” sindir ustaz Wahab.
Jamaah terpingkal – pingkal.
Daftar Doa
Sudah menjadi tradisi bahwa setiap ada orang naik
haji, para tetangganya selalu menitipkan doa. Begitu juga ketika Pak
Baron naik haji. Pak RT menitip doa agar usahanya lancar. Bu Djoko menitipkan doa agar anaknya diterima di
Perguruan Tinggi ternama. Bang Kodir menitip agar memperoleh jodoh yang
salehah.Dan masih banyak lagi.
Begitulah, seusai melakukan thawaf qudum, Pak Baron
membaca daftar penitip doa satu per satu berikut doa yang harus dipanjatkan di
depan multazam. Nahas baginya, ketika baru ada lima doa yang dibacakan, ia
tersenggol orang Nigeria yang tinggi dan besar. Terbanglah kertas berisi daftar
tersebut.
Dengan lemas, Pak Baron berharap, “ Ya, Allah, Engkau
Maha Tahu. Amin.”
Beda Azan Subuh
Perbedaan mencolok apakah yang terlihat antara azan Subuh
di Arab Saudi dengan Indonesia?
“Kalau di Arab Saudi cukup ‘Ashsholaatu khoirum
minannauum.”
“Kalau di Indonesia?”
“Ashsholaatu khoirum minan nauuuuuuuuuuuuuuuuuuuum.”
“Kok bisa begitu?”
“Karena di Indonesia orang – orang malas bangun ketika
azan dikumandangkan. Sedangkan di Arab, sebelum Subuh orang – orang sudah ada
di masjid.”
Terlalu Mahal
Di sekeliling ka’bah, ternyata banyak joki hajar aswad.
Mereka menawarkan jasa membantu memandu jamaah mencium hajar aswad.Rata – rata
10 riyal per jamaah.
“Mahal amat!” protes Haji Bonari kepada penyedia jasa.
“Terserah Bapak. Kalau nggak punya uang nggak usah
minta bantuan deh,” ujar mahasiswa penyedia jasa.
“Oke
deh, 5 riyal,” tawar Haji Bonari.
“Bisa, Pak, tapi saya lempar sampai depannya.”
100.000 Kali Lipat
Sesuai perjanjian sebelumnya bahwa selesai thawaf dan
sa’i mereka akan bertemu di depan kantin Bakso Pak Udin, para rombongan
berkumpul sesuai waktu yang telah ditetapkan. Namun, ada satu jamaah yang sudah
30 menit ditunggu tidak kunjung tiba. Para jamaah sudah mulai jemu menunggu.
Mereka gelisah. Kegelisahan mereka akhirnya terbaca juga oleh Ustadz Saerozi,
pembimbing mereka. “Tenang Bapak-bapak dan Ibu-ibu. Sabar. Menunggu di masjidil
Haram ini dilipatkan 100.000 kali.”
“Pahalanya, Ustadz?” celetuk Haji Juned.
“Bukan. Maksud saya menunggunya serasa 100. 000 kali
lipat lamanya,” jawab Ustadz Saerozi sambil tersenyum.
PERISTIWA DI
JAKARTA
Seperti Semut
Karena ada kerusakan teknis, pesawat rombongan haji
dari bandara Soekarno – Hatta menuju Jeddah tidak segera take off alias
terlambat terbang. Sementara jamaah calon haji sudah berada di pesawat cukup
lama.
Karliyah, ibu setengah baya ini rupanya tertidur lelap
di dalam pesawat. Maklum, semalam di Asrama Haji Pondok Gede tidak bisa tidur
nyenyak karena membayangkan cepat sampai di Makkah.
Ketika annauncement dari awak kabin pesawat terdengar,
Karliyah terbangun. Melalui jendela, ia melihat ke bawah. “Subhanallah,”
kagetnya, “orang – orang jadi kecil seperti semut ya kalau dilihat dari atas
pesawat,” Karliyah menengok ke penumpang sebelahnya.
“Bu, pesawat ini belum terbang. Itu memang semut
beneran,” jawab penumpang sebelahnya.
Karliyah tersipu.
Beda Tujuan
Seorang pramugari pesawat haji dibuat repot oleh salah
satu penumpangnya, Marijan. Ia tidak mau duduk di kelas ekonomi, tapi memilih seat
kelas bisnis. Sudah berkali pramugari membujuknya bahwa di tempat duduk depan
untuk jamaah yang membayar lebih mahal, tapi tidak berhasil juga.
Karena merasa buntu pikirannya, pramugari melapor
kepada pilot. Dengan sedikit terpaksa, pilot turun tangan mendekat penumpang
yang rewel.
“Maaf, Bapak ini mau turun di Jeddah apa di Madinah?”
pancing sang pilot.
“Turun di Jeddah, Pak.”
“Nah, kalau ke Jeddah dulu, Bapak sudah benar duduk di
sini.”
“Terima kasih, Pak. Alhamdulillah saya nggak keliru
tempat duduk,” jawab Marijan sambil tersenyum.
Lauk Pilihan
Wasmo, lelaki lanjut yang baru pertama kali naik
pesawat.Kepergiannya naik haji ini adalah kesempatan perdananya mengenal
enaknya naik pesawat.
Dengan sedikit mengantuk, ia didatangi pramugari. Oleh
pramugari ia ditawari makanan. “ Mau lauk daging sapi apa ayam, Pak?”
“Nggak, nggak, saya nggak pesen. Saya
masih kenyang,” tolak Wasmo. “Ah, saya kan harus ngirit, jangan sampai duit
habis sebelum sampai di tujuan,” gumamnya.
“Bapak,
ini jatah Bapak. Gratis. Bapak tidak perlu membayar,” bujuk pramugari sembari
tersenyum.
“Apa?
Tidak perlu membayar?” setengah tak percaya Wasmo bertanya.
Pramugari
mengangguk. Masih tersenyum. Wasmo tersenyum malu. “ Daging ayam sajalah kalau
begitu, Jeng.”
Bukan Tangan Saya
Merasa
sudah buntu jalannya, Imam Kadarusman, calon haji akhirnya mendekati mendekati
pejabat tinggi Departemen Agama. Dengan membeberkan kronologi jalan yang sudah
ditempuh dari walimatus safar, demo di DPR, sampai mencari paspor hijau
akhirnya diterima oleh pejabat tinggi Depag. Setelah berdiplomasi dan pasang
muka memelas akhirnya pejabat yang berwenang memutuskan. “Yang tanda tangan ini
bukan tangan saya lho, Dik Imam, tapi tangan Allah,” ujar pejabat tersebut.
“Dan pesan saya, tolong rahasia ini jangan sampai bocor.”
Tidak Ada Pangkat
Seorang
berpangkat tinggi rewel selama mengikuti manasik haji. Tentu sangat menyebalkan
bagi pembimbingnya. “Maaf, di sini tidak ada pangkat, Pak, yang ada ketakwaan.”
“Tapi, mengapa ongkosnya beda – beda?”
Lebih Mahal
Sudah menjadi rahasia umum bahwa biaya penyelenggaraan
ibadah haji di Indonesia jauh lebih mahal ketimbang negeri jiran. Bayangkan saja, di Indonesia biaya per orang US$ 2770.
Sementara di Filipina US $ 1600 dan bahkan di Malaysia cuma US $ 1200.
“Mestinya tidak sebesar itu kalau mengambil keuntungan,”
komentar Haji Zaim, pengamat penyelenggaraan ibadah haji.
“Lho, maksud kami bukan mau menilep uang jamaah haji.
Kami sekadar membatasi membludaknya jamaah dengan cara meninggikan biaya,”
kilah Haji Basari dari Depag.
Revisi UU Haji
Banyaknya masalah yang muncul dalam penyelenggaraan haji
memancing desakan masyarakat agar segera dilakukan revisi terhadap UU 17/ 1999
tentang Haji. Salah satu desakan yang kuat adalah perlu dilibatkannya
masyarakat dalam menyelenggarakan ibadah haji. Pihak pemerintah sendiri masih
terkesan enggan membagi tanggung jawab ke masyarakat. Oleh karena itu, ia
berusaha melobi Ketua Komisi di DPR.
“Gimana caranyalah yang penting pasal tersebut tidak
mengalami perubahan,” rayu pejabat pemerintah.
“Wah, agak sulit Pak. Perlu pembahasan di hotel dan butuh
waktu lama,” jawab Ketua Komisi DPR.
“Dihitung aja Pak berapa lama di menginap dan di hotel
apa. Mengenai biaya nggak usah dipikirkan.”
Seminar Haji
Pada sebuah seminar yang membahas penyelenggaraan haji,
seorang peserta dari LSM mengeluh.
“Selama ini ada kesan bahwa Depag tidak ingin melepas
tanggung jawab penyelenggaraan haji. Padahal seperti kita ketahui tiap tahunnya
selalu ada masalah,” ujar Haji Muharius.
“Depag berpendapat, hal itu masih harus diurus
pemerintah. Mengurus jamaah haji ratusan ribu itu tidak mudah,” jawab Haji
Antono, pejabat tinggi Depag.
“Justru di situlah masalahnya. Kalau sudah tahu tidak
mudah, mengapa ada kesan ngotot?”
“Sebenarnya pada tahun 1970-an sudah pernah. Tapi
kenyataannya banyak jamaah yang tidak berangkat dan uangnya hilang,” jawab Haji
Antono tak mau kalah.
Studi Banding
Atas desakan masyarakat yang begitu gencar, akhirnya
pemerintah mengirim utusannya untuk melakukan studi banding mengenai sistem penyelenggaraan
ibadah haji ke Malaysia. Didapatkan bahwa sistem Tabung Haji yang digagas
pertama kali oleh Ungku Aziz, seorang ekonom dari Universitas Malaya, pada 1959
sangat bagus.
Sepulang dari dari Malaysia, utusan tersebut
melaporkannya kepada atasannya. “Karena didukung database yang lengkap, mereka
yang belum berhaji akan diprioritaskan,” lapor Haji Saridin.
“Well,terus?”
“Yang patut dicontoh, para calon jamaah haji tak perlu
berebut mendapatkan kuota. Mereka tinggal menunggu giliran,” lanjut Haji Saridin.
“Nah, ini. Tolong nilai plus yang kedua ini jangan sampai
diketahui oleh umum. Biarlah menjadi rahasia kita saja,” pesan Haji Bairi,
atasan Haji Saridin.
Haji Saridin melongo.
Dana Tabung Haji
Menteri Agama melakukan kunjungan dinas ke negara Malaysia.
Sebagai pimpinan tertinggi di Departemen Agama, tak lupa menyempatkan diri
untuk menimba ilmu mengenai Tabung Haji. Lembaga berbasis syariah ini
sudah mendapat fatwa halal dari Mufti Agung Mesir, Syekh Mahmoud Shaltut,
yang juga wakil penasihat Universitas Al – Azhar pada 1962.
“Bagaimana memanfaatkan dana yang terkumpul dari calon
jamaah haji?” tanya Menteri Agama.
“Kami investasikan di pembangunan Kuala Lumpur
International Airport, pembangkit listrik Bakun Dam di Sarawak, dan investasi
lain di pelbagai perusahaan Eropa,” jawab Menteri Ugama Malaysia.
Menteri Agama mengangguk – angguk.
“Kalau Indonesia sendiri macam mana?”
“Justru kami ke sini ingin mengetahui ladang investasi
mana saja yang bisa kami masuki,” jawab Menteri Agama setengah kecut. Menteri
Agama langsung mengalihkan topik pembicaraan karena takut ketahuan bahwa
rekening jamaah haji atas nama dirinya.
Waktu Haji
Menurut Surat Al- Baqarah ayat 197, waktu haji adalah
beberapa ( 3 ) bulan yang sudah maklum. Para mufasir dan para ulama mengatakan
yang dimaksud adalah Syawal, Zulqaidah dan Zulhijah. Menurut ulama Hanbaliyah,
waktu haji yang dimaksud adalah keseluruhan hari selama tiga bulan tersebut.
Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah, yang dimaksud adalah seluruh
hari di bulan Syawal dan Zulqaidah ditambah 10 hari pertama bulan Zulhijah.
“Dengan argumen seperti itu, waktu pelaksanaan ibadah
haji tak hanya sekitar 6 hari, yakni hari – hari ke – 8,9, 10, 11, 12, 13 pada
bulan Zulhijah,” Masdar F. Mas’udi, pemikir Islam melontarkan pemikirannya.
“Bukankah ada hadis khudzuu ‘anny manasikakum. Ambillah dariku manasik kalian,” ulama lain berargumen.
“Hadis ini harus kita ikuti sebatas menyangkut prosesi (
manasik ) ibadah haji, bukan menyangkut waktu, dalam arti tanggal atau hari –
harinya,” Masdar kembali berargumen.
“Lalu, bagaimana dengan hadis yang berbunyi Al – hajju
‘arafah. Haji adalah Arafah?” balik ulama teman diskusinya.
“Tapi puncak di Arafah itu bukan tanggal 9 Zulhijah saja.
Tetap dalam rentang 3 bulan itu,” Masdar masih
berargumen.
Ulama tadi setengah kelabakan. Akhirnya ketemu ide
nyeleneh juga. “Oke deh Pak Masdar. Gimana seandainya Anda sendiri wukuf pada
bulan Syawal?”
“Wah, ya kurang seru. Masak wukuf sendirian,” jawab
Masdar santai.
Butuh Keadilan
Dalam sebuah acara ramah tamah antara pejabat Depag
yang membidangi urusan haji dengan penyelenggara KBIH Khusus di sebuah hotel,
seorang pemilik KBIH Khusus mengeluh. “Dari tahun ke tahun ternyata masih
banyak penyelenggara yang hanya jual beli kuota. Ia sendiri hanya memiliki
sedikit calon jamaah haji. Sementara banyak kuota yang akhirnya dijual ke KBIH
lain karena ia memperoleh banyak kuota.Kami butuh keadilan, Pak,” protes Haji
Hafidz.
Sebelum pejabat Depag menjawab, dari hadirin yang
duduk di belakang terlontar jawaban. “Maaf, kami tidak menjualnya ke KBIH Lain.
Yang betul kami menjual ke KBIH Khusus juga.”
Seminar Lontar Jumrah
Karena diminta masukannya seputar penyelenggaraan
lontar jumrah, pemerintah Indonesia kemudian mengundang masyarakat dari
berbagai unsur menyelenggarakan seminar. Masukan seminar ini nantinya akan
diberikan kepada pemerintah Arab Saudi.
“Menurut hemat kami, ke depan lontar jumrah harus
memakai sistem komedi putar. Tentu, mereka akan bergiliran melontar dengan cara
berputar. Tidak akan terjadi tabrakan,” Haji Sudak, salah seorang peserta usul.
“Akan lebih aman kalau melempar dari jarak jauh
misalnya memasukkan batunya melalui slang dan didorong dengan tenaga angin,”
usul Haji Gaus, peserta seminar yang lain.
“Masukan – masukan tadi bagus. Tapi saya kira kita
harus berpikir ke depan. Mengapa kita tidak menerapkan sistem computerized.
Jadi digerakkan melalui komputer. Atau setidaknya memakai remote control
deh,” jawab Haji Fauzi antusias.
Pejabat Depag tiba – tiba pusing kepala.
Tambahan Kuota
Adanya informasi dari pemerintah bahwa kuota untuk
Indonesia ditambah 30.000 tentu membuat masyarakat menjadi gembira.
“Tapi, apakah Anda yakin bahwa tambahan itu bukan
sebuah fatamorgana saja?” tanya wartawan tajam.
“Spekulasi kan boleh selama keuntungannya sudah di
depan mata. Kalau toh tambahan itu batal pemerintah tidak akan rugi kok,” jawab
petinggi Depag kemudian.
Wartawan hanya nyengir.
Bunga Dana Haji
Menteri Agama beserta staf melakukan studi banding penyelenggaraan
ibadah haji ke Malaysia. Maklum, dengan Tabung Hajinya, Malaysia dianggap
berhasil melayani ibadah haji warganya. Setelah membeberkan sejarah Tabung Haji
secara panjang lebar, Menteri Ugama Malaysia berujar, “Dana haji tidak boleh
ditanamkan di sektor usaha yang haram dan makruh. Misalnya perusahaan minuman
keras dan rokok. Macam mana di Indonesia?”
“Kami sungguh sangat hati – hati terhadap bunga bank.
Kami mencegah agar calon jamaah haji tidak memakan uang haram tersebut,” jawab
Menteri Agama.
“Lalu,untuk apa riba tersebut?”
“Biar kami sajalah yang menanggungnya,” jawab staf
Menteri Agama dengan tenang.
Tidak Mau Pakai
Seorang jamaah haji yang baru pertama kali naik
pesawat diminta memakai sabuk pengaman. Namun Pak Badrun, jamaah tadi menolak.
Alasannya ia sudah memakai sabuk sendiri.”Sudah pakai sabuk kok masih disuruh
pakai lagi,” gerutu Pak Badrun.
Karena demi keselamatan penumpang, pramugari merayu.
“Bukan begitu maksudnya, Pak. Khawatirnya kalau Bapak nanti kejedot ke kursi
depan, pasti penumpang di depan Bapak akan terjungkal,” bujuk pramugari
Paramitha.
“Oh, bilang dari tadi kalau begitu,” Pak Badrun tak
mau kalah.
PERISTIWA DI
MAKKAH
Wudhu Cadangan
Setelah melihat kenyataan bahwa jarak antara Ka’bah
dan toilet jauh, Hasbi yang suka kentut itu merasa gelisah. Ia membayangkan
harus bolak – balik ke masjid dan tempat wudhu. Akhirnya ia mendekati ustaz
pembimbingnya dan memberanikan diri untuk bertanya. “Ustaz, saya sering kentut.
Gimana caranya ya agar saya tidak bolak – balik ke tempat wudhu?”
“Wudhu saja 3 kali. Kalau kentut kan masih ada dua
wudhu cadangan,” sahut Indra asal.
“Ah, ente sembarangan aje,” ustaz Mun’im menyemprot
Indra. “Kalau batal ya wudhu lagi. Kan nggak jauh – jauh amat.”
Memegang Alqur’an
Kalau ingin melihat demokrasi orang shalat, shalatlah
di Masjidil Haram. Jamaah dari berbagai bangsa berkumpul dengan tata cara
berbeda – beda. Ini pula yang mengundang pertanyaan Haji Rofaan. “Mengapa orang
Afghanistan kalau sedang berdoa sambil mengangkat Alqur’an?”
“La kalau mengangkat Injil dikira orang Kristen,
dong,” kilah Haji Mubarok.
Pakaian Imam
“Mengapa imam masjidil Haram memakai gamis warna putih
ya?”
“Lha kalau memakai gamis batik nanti dikira shalat di
kota Pekalongan.”
Bedanya
Dua orang haji sedang berbincang santai.
“Apa sih bedanya masjidil Haram dengan masjid Nabawi?”
“Masjidil Haram di Mekkah dan Nabawi di Madinah. Gitu aja
kok repot.”
Di Depan Multazam
Percakapan dua jamaah haji sambil rehat.
“Mengapa imam shalat selalu berada di depan Multazam ya?”
“Memang boleh kalau berada di halaman masjidil Haram?”
Memotret Ka’bah
Demi untuk kenang – kenangan sesampainya di Tanah Air,
Hajjah Rina bermaksud memotret ka’bah dengan handphonenya. Kepada asykar, Rina
meminta ijin.
“Bolehkah saya memotret ka’bah?”
“Haram! Haram! Tidak
boleh, tidak boleh!
Ini tanah haram.”
“Tapi, teman saya sehotel kok boleh memotret?”
“Ya, karena dia tidak minta ijin dulu,” jawab asykar
diplomatis.
Tidak Mengangkat Tangan
Ada pemandangan yang aneh bagi Sulastri ketika melihat
orang – orang Irak melakukan shalat. Pasalnya, ketika takbir, orang – orang itu
tidak mengangkat tangannya. Dengan memberanikan diri, Sulastri kemudian
bertanya, “Maaf, Bapak. Kenapa Bapak tadi tidak mengangkat tangan Bapak ketika
takbir?”
“Lho, kalau saya angkat tangan nanti dikira sudah
menyerah. Apalagi kalau dilihat orang Amerika dan para sekutunya. Kami tidak
akan menyerah!” jawab orang Irak berapi – api.
Penjual Obat Jenggot
Berziarah ke Jabal Tsur, tempat Rasulullah dan Abu
Bakar bersembunyi karena kejaran kaum kafir Quraisy, Haji Abidin merasa heran.
Banyak pedagang bertebaran di lerengnya. Bagi Haji Abidin, yang paling menarik
adalah penjual obat penumbuh jenggot.
“Tuan menjual obat jenggot, tapi mengapa Tuan tidak
memiliki rambut jenggot,” Haji Abidin mencoba menembak penjual obat.
Sejenak gelagapan ia, tapi buru – buru berkilah,
“Haji, kalau ana jual burung, apakah ana harus bertelur juga? Subhanallah!”
Makam Nabi Ibrahim
Selesai
melakukan thawaf qudum, Haji Sulana melakukan shalat sunah 2 raka’at di
belakang makam Ibrahim. Selesai shalat sunah, ia mengamati isi makam Ibrahim.
Tak bisa menyembunyikan keheranannya, ia bertanya kepada pembimbingnya.
”Ustaz
Zamroni, saya heran mengapa makam Nabi Ibrahim begitu pendek? Bukankah orang –
orang jaman dulu tinggi – tinggi dan besar- besar?” tanya Haji Sulana.
“Ini
bukan kuburan Nabi Ibrahim, Pak Sulana. Tapi bekas pijakan beliau saat
mendirikan ka’bah,” jawab Ustaz Zamroni sembari tersenyum.
“Oooh…”
Sunah Ba’diyah ‘Ashar
Ini
kejadian serupa. Ketika Muridan melakukan shalat lagi setelah shalat ‘Ashar,
tentu ada yang menegurnya.
“Ente
shalat lagi? Bukankah tidak ada ba’diyah ‘Ashar?”
“Kamu
belum tahu pahalanya shalat di masjidil Haram sih? 100 ribu kali shalat
di masjid lain, tahu!” Muridan menjawab dengan sok tahu.
Salon Arab
“Ada
yang menarik dari salon laki – laki di Arab,” pancing Haji Munawir kepada
temannya.
“Apa
itu Pak?” tanya Haji Markum penasaran.
“Pemanas
rambutnya menghadap ke bawah.”
“Lho,
kok bisa begitu?”
“Sebab
yang dipanasi bukan rambutnya, tapi jenggotnya.”
Thawaf di Luar Masjid
Orang
Indonesia memang terkenal suka berbelanja. Bahkan menurut survai, income
terbesar pedagang – pedagang di Pasar Seng, Makkah karena keroyalan jamaah haji
Indonesia. Ini juga sudah diketahui ustaz – ustaz pembimbing. Oleh karena itu,
untuk menghindari rasa malu dan pekewuh, jamaah haji menggunakan bahasa simbol.
Belanja sama dengan thawaf.
Nah,
ini kejadian di saat rombongan haji sedang mengikuti kuliah Dhuha di selasar
hotel. Ibu – ibu tampak gelisah. Sesekali berbisik – bisik satu sama lainnya.
Rupanya ustaz menyadarinya. “Sudah pada mau thawaf di Pasar Seng ya, kok
kelihatannya nggak khusyu’,” sindir ustaz Wahab.
Jamaah
terpingkal – pingkal.
Kotak Amal
“Mengapa
di Masjidil Haram tidak ada kotak amalnya ya?”
“Memangnya
cukup 2 hari untuk menghitung hasilnya?”
“Tapi
kan uangnya bakal ratusan juta tuh sekali edar.”
“Atau
kamu mau mengedarkannya?”
Karpet
Seorang
ibu kesal terhadap anaknya, karena sudah bolak – balik di Pasar Seng masih
belum menemukan apa yang diinginkannya.
“Memang
mau beli apa sih, Bu?” tanya Haji Zaini.
“Minta
karpet, Pak Haji,” jawab Hajjah Fathiyah.
“Kan,
banyak. Tinggal memilih. Memang maunya yang gimana?”
“Yang
bisa terbang kayak punyanya Aladin, katanya.”
“Waladalaaaah!”
Karpet Terbang
“Ada
karpet yang bisa terbang, Tuan?” tanya Hajjah Muniroh kepada penjual karpet.
“Ada,
tapi belum dikirim. Masih di Baghdad,” jawab pemilik toko tak kalah lucunya.
Warna Cadar
“Mengapa
cadar berwarna hitam ya?”
“Kalau
batik nanti dikira masih di Pekalongan.”
Cadar Tebal
Mengapa
cadar berupa kain tipis ya?
Kalau tebal bisa nabrak – nabrak jalannya.
Kalau tebal bisa nabrak – nabrak jalannya.
Cadar Laki – laki
“Mengapa
cadar hanya untuk perempuan?”
“Aduh,
untuk perempuan saja kita jadi sulit membedakannya, apalagi kalau laki – laki
juga memakainya. Tambah bingung, pasti!”
Banyak Burung Merpati
“Mengapa
di Tanah Suci ini banyak burung merpati ya?” tanya Haji Fahman.
“Karena
tidak boleh ditangkapi dan disembelih,” jawab Haji Imam.
“’Di
Indonesia ditangkapi dan disembelih, kok masih banyak juga?”
“Waduh,
kok sempat – sempatnya nanya sih?!”
Lebih Mahal
Seorang
ibu membeli rumput Fatimah di halaman masjidil Haram.
“10
riyal haji. Kalam akhir!” maksudnya tidak bisa ditawar lagi.
“Mahal
amat. Di Jabal Uhud cuma 5 riyal!” protes Hajah Naina.
“Itulah,
mengapa nawarnya di sini kalau mau belinya di sana?” tembak penjual rumput
Fatimah kemudian.
Warna Ihram
“Mengapa
kain ihram warnanya putih – putih ya?”
“Kalau
merah putih nanti dikira bendera Indonesia.”
Lari – lari Kecil
Rasulullah
mencontohkan, ketika mencapai Bathnul Waadi yang ditandai dengan lampu hijau
saat ini, jamaah haji harus lari – lari kecil. Meskipun sudah dicontohkan oleh
Rasulullah, toh masih ada pula yang bertanya.
“Mengapa
sih ketika sa’i kita harus lari – lari kecil pas di lampu hijau?” tanya Haji
Abnan.
“Habisnya
kalau lari – lari cepat bakal banyak yang kesrimpung. Kalau jatuh kan bisa
luka,” jawab Haji Muhsin sekenanya.
Tutup Toko
“Mengapa
toko – toko di Arab Saudi selalu ditutup pada saat shalat?”
“Kalau
dibuka toh tidak ada yang beli. Wong semuanya pada shalat.”
Pintu Masjidil Haram
Pintu
Masjidil Haram ada 4 utama dan 45 pintu biasa. Karena banyaknya inilah banyak
pula jamaah haji yang tersesat, bahkan beberapa kali.
“Mengapa
ada 49 pintu ya?” Haji Kolari setengah mempertanyakan. Ia termasuk yang
tersesat.
“Nanti
saya tanyakan sama yang punya ide dan arsiteknya ya,”canda Haji Nawawi.
“Ah,
Pak Haji canda melulu.”
Tidak Dipisah
Mengapa
jamaah laki – laki dan perempuan tidak dipisah ketika shalat di masjidil Haram?
Wajar
kan, pasalnya ka’bahnya juga satu.
Nah,
lo, nggak nyambung, kan.
Gara – gara Warna Baju
Haji
Saman terperanjat ketika menyadari bahwa istrinya sudah lepas dari gandengannya.
Padahal saat thawaf jamaah berjubel dan arus manusia sangat kuat. Namun ia
menjadi gembira ketika ingat bahwa dirinya janjian dengan istrinya. Haji Saman
berpesan apabila terpisah. mereka akan bertemu di pintu Baabus Salam.Rupanya
sudah sekian lama Haji Saman menunggu kehadiran istrinya, namun istrinya tidak
kunjung muncul.
Ketika
hampir putus asa menunggu, istrinya muncul dengan gugup dan berlinang airmata.
“Saya…,saya…”
“Kenapa,
Bu?”
“Saya
tadi nggandeng orang Turki ternyata. Seragam kita sama yakni hijau tosca,”
cetus istrinya terguguk.
Penjaga Toilet
“Mengapa
toilet di masjidil Haram tidak ada penjaganya?” tanya Haji Warno.
“Takut
kewalahan menerima bayaran. Bukankah konsumennya sangat banyak?”
Kotak Amal
Masih
seputar masjidil Haram.
“Mengapa
tidak ada kotak amal yang diedarkan ketika shalat Jumat?”
“Untuk
apa uangnya? Toh, semuanya sudah dibiayai kerajaan.”
Joki Hajar Aswad
Di
masjidil Haram ternyata banyak joki. Bukan joki UMPTN, tapi mencium Hajar
Aswad. Mereka kebanyakan mahasiswa di Saudi Arabia dan sekitarnya. Mereka
membisiki jamaah yang tampaknya menginginkan mencium Hajar Aswad tapi takut
atau kesulitan. Suatu saat mahasiswa ini menghampiri Sutarno menawarkan jasa
joki.
“Mau
saya bantu, Pak?”
“Mau,
mau, Dik.”
“Cuma
10 riyal, Pak.”
“Mahal
banget. 5 riyal ya.”
“Umumnya
memang segitu, Pak.Ini sudah murah.”
“Murah
apanya. Pantesan Rasulullah tidak menggunakan joki karena mahal begitu,” gerutu
Sutarno.
Daftar Doa
Sudah
menjadi tradisi bahwa setiap ada orang naik haji, para tetangganya selalu
menitipkan doa. Begitu juga ketika Pak Baron naik haji. Pak RT menitip doa agar
usahanya lancar. Bu Djoko menitipkan doa agar anaknya diterima di Perguruan
Tinggi ternama. Bang Kodir menitip agar memperoleh jodoh yang salehah.Dan masih
banyak lagi.
Begitulah,
seusai melakukan thawaf qudum, Pak Baron membaca daftar penitip doa satu per
satu berikut doa yang harus dipanjatkan di depan multazam. Nahas baginya,
ketika baru ada lima doa yang dibacakan, ia tersenggol orang Nigeria yang
tinggi dan besar. Terbanglah kertas berisi daftar tersebut.
Dengan
lemas, Pak Baron berharap, “ Ya, Allah, Engkau Maha Tahu. Amin.”
Tidak Mau Pakai
Seorang
jamaah haji yang baru pertama kali naik pesawat diminta memakai sabuk pengaman.
Namun Pak Badrun, jamaah tadi menolak. Alasannya ia sudah memakai sabuk
sendiri.”Sudah pakai sabuk kok masih disuruh pakai lagi,” gerutu Pak Badrun.
Karena
demi keselamatan penumpang, pramugari merayu. “Bukan begitu maksudnya, Pak.
Khawatirnya kalau Bapak nanti kejedot ke kursi depan, pasti penumpang di depan
Bapak akan terjungkal,” bujuk pramugari Paramitha.
“Oh,
bilang dari tadi kalau begitu,” Pak Badrun tak mau kalah.
Cuma Menonton
Haji
Zain memang jeli. Sebagai wartawan, naluri kewartawanannya cukup berjalan juga.
Begitu juga ketika sedang berzikir di Masjidil Haram. Ia mengomentari
jamaah lain.
“Sudah
jauh – jauh di sini kerjanya kok cuma nonton orang thawaf. Mestinya kan zikir
terus,” ujarnya.
Sepulang
dari masjid, sajadahnya ketinggalan, tanpa ia ingat sama sekali. Berceritalah
ia kepada teman – temannya. “Makanya hati – hati berkomentar. Nonton orang
thawaf kan sudah dapat pahala 20 rahmat lho. Itu cuma nonton itu.”
“Oh,
begitu ya…”
Terharu
Seusai
melakukan thawaf, rombongan jamaah haji kembali ke maktab. Mereka hampir
memiliki kesamaan perasaan ketika bisa mencium hajar aswad: menangis karena
terharu. Hanya seorang yang tidak merasa terharu, dengan sinis berkomentar,
“Ah, gitu aja cengeng. Aku nggak nangis nih,” ujar Haji Mardu kepada teman –
temannya.
Besoknya,
rombongan tadi kembali melakukan thawaf dan satu per satu mencium hajar aswad.
Ternyata, Haji Mardu meneteskan airmatanya.
“Nah,
akhirnya Pak Haji Mardu terharu juga,” komentar Haji Badrun.
“Iya,
karena hati Haji Mardu kemarin itu belum siap,” timpal Haji Wardono.
Sambil
sesenggukan, Haji Mardu menjawab, “ Belum siap apaan. Ketika aku mau mencium
hajar aswad, asykar menggamparku.”
Terlalu Mahal
Di
sekeliling ka’bah, ternyata banyak joki hajar aswad. Mereka menawarkan jasa
membantu memandu jamaah mencium hajar aswad.Rata – rata 10 riyal per jamaah.
“Mahal
amat!” protes Haji Bonari kepada penyedia jasa.
“Terserah
Bapak. Kalau nggak punya uang nggak usah minta bantuan deh,” ujar mahasiswa
penyedia jasa.
“Oke
deh, 5 riyal,” tawar Haji Bonari.
“Bisa,
Pak, tapi saya lempar sampai depannya.”
Parfum 1000 Bunga
Menjelang
hari kepulangannya, seusai Thawaf Wada’, Hajah Luthfiyah berkesempatan melihat
– lihat parfum di sekitar Pasar Seng. Matanya tertumbuk pada Parfum 1000 Bunga.
“10
riyal, Hajji. Kalam akhir,” ujar penjual parfum.
Setelah
membuka – buka dompet, uang kecilnya ternyata tinggal sedikit.
“Beri
aku 500 bunga saja, karena uangku tinggal 5 riyal,” tukas Hajah Luthfiyah.
Tak Pernah Sedih.
Haji
Doddy termasuk haji yang acapkali kena musibah. Dari yang kecil sampai
menengah. Namun beliau tidak pernah merasa sedih atau jengkel dan marah –
marah. Ketika kejadian terakhir di Jabal Tsur, ia terjatuh di bebatuan sehingga
tubuhnya berdarah – darah. Namun ia tetap tersenyum.
“Wah,
saya heran. Pak Haji Doddy ini tidak pernah sedih. Banyak luka juga nggak
sedih,” ujar Haji Zairin sambil melap luka – luka Haji Doddy.
“Wajar
dong, Pak, kan saya ikut Haji Tamattu’. Tamattu’ kan artinya gembira.”
Membawakan Air Zamzam.
Seorang
jamaah haji terlihat paling sibuk membawakan air zamzam kemasan botol setiap
harinya. Ibu Wanti, jamaah tersebut, terlihat begitu seringnya sehingga
mengundang tanda tanya jamaah haji lain.
“Saya
perhatikan Ibu Wanti rajin sekali membawakan air zamzam untuk jamaah lain. Apa
tidak terlalu repot, Bu?” tanya Hajjah Munafah.
“Repot
sedikit nggak apa – ap
a, Bu. Yang penting kan pahalanya 100.000 kali lipat
kalau kita membawakan di tempat lain.”
Resep Haji Mabrur
“Kalau
berdoa pakai nangis, biar hajinya mabrur.”
“Lho,
kalau nangis apakah benar mabrur?”
“Nggak
juga sih. Tapi, minimal menuju mabrur.”
Seragam Haji
Seandainya
jamaah haji Indonesia dibuatkan seragam, maka akan tampak sekali ketika thawaf.
Bukankah jamaah kita paling banyak?
Ketika
ide ini saya sampaikan kepada seorang teman, ia menukas cepat, “Jangan membuka
pintu korupsi lagi ah. Kasihan jamaah haji yang sudah banyak sabar menahan yang
begitu itu.”
Lupa Hitungan
Seorang
jamaah haji lupa menghitung putaran thawaf yang sudah ia lakukan. Rupanya ia
tidak puas kalau tidak mengulang lagi dari awal. Tapi setiap mengulang selalu
saja lupa sebelum sampai hitungan ketujuh. Karena terlalu capek, ia terduduk
sambil menengadahkan kedua tangannya. “Ya Allah, sungguh Engkau Maha Tahu.”
Arah Putaran
“Mengapa
orang thawaf arahnya putarannya ke kiri?”
“Memang
ketentuannya begitu.Coba saja ke kanan, bisa terinjak – injak kau.”
Masjid Jin
Sepulang
dari ziarah ke makam Siti Khadijah di Ma’la, Haji Mashudi mampir di masjid Jin.
Ia sempatkan shalat sunah 2 rakaat di sana.
“Perasaan
tadi banyak jamaah di dalam masjid. Namun ketika salam, tiba – tiba sudah tidak
ada semua mereka,” ujar Haji Mashudi setengah linglung sesampai di hotelnya.
“Maksudnya
siapa?” tanya Haji Basarun, temannya sehotel.
“Itulah
yang tidak saya ketahui. Apakah mereka jin?”
“Ah,
mengapa tidak kautanyai sebelum shalat tadi?”
Pengemis di Gua Hira’
Gua
Hira’ ternyata tidak hanya menyimpan sejarah karena di situ tempat Rasulullah
menerima wahyu pertama kali. Kini gua tersebut di samping menarik minat
peziarah, juga para pengemis dari berbagai negara. Ya, mereka mengemis sambil
mengacung – acungkan paspornya.
“Ah,
mengapa mereka harus jauh – jauh kemari hanya untuk ngemis, ya?” keluh Haji
Humam kepada pembimbingnya.
“Bukankah
Rasulullah sudah pernah menyampaikan: Kelak ada 3 golongan yang naik haji.
Pertama, Kelas Atas yang naik haji dengan maksud berwisata. Kedua, Kelas
Menengah. Mereka naik haji dengan maksud berdagang. Dan terakhir, Kelas Bawah.
Mereka berhaji dengan maksud meminta – minta,” urai ustaz Waskita menyitir
hadis. “Jadi wajar kan kalau ada orang jauh – jauh kemari hanya untuk
mengemis?”
Contoh Memakainya
Haji
Bakran memang terkenal usil dan suka ngerjain orang. Begitu juga berkesempatan
menunaikan ibadah haji, penyakit itu masih juga melekat pada dirinya. Misalnya
ketika ia membeli siwak.
“Berapa
satu ikat, Mbah?”
“10
riyal, Hajji,” jawab penjual siwak yang sudah renta dan tanpa gigi itu.
“Oke
deh. Beli 2 ikat. Tapi tolong diberi contoh cara memakainya ya!” pinta Haji
Bakran.
Si
kakek hanya melongo.
Serong Sedikit
Selesai
thawaf, haji Thohari melaksanakan shalat sunah 2 rakaat di belakang makam
Ibrahim. Di sebelah kanannya haji Mahmud, ustaz yang membimbingnya.
Setelah
takbir, haji Thohari membatalkannya. Ia mengubah posisinya dengan serong ke
kanan sedikit. Merasa bertanggung jawab terhadap jamaah yang dibimbingnya,
ustaz Mahmud menegur, “Mengapa Ente nyerong ke kanan? Bukankah Ente shalat
persis di hadapan ka’bah?”
“Afwan
Ustaz, perasaan masih di Tanah Air saja sehingga perlu menghadap ke kiblat,”
jawab haji Thohari sembari tersipu.
Taubat
Si
Bahlul adalah jamaah haji yang merasa dosanya paling banyak. Cita – citanya
memang ingin bertobat dengan memanjatkan doa di depan multazam sebagai tempat
yang makbul untuk berdoa.
Begitulah,
ketika sampai di depan multazam langsung tersungkur dan berdoa sambil menangis,
“ Ya Allah, ampunilah segala dosaku, baik dosa yang Engkau ketahui maupun dosa
yang tidak Engkau ketahui…”
PERISTIWA
DI MADINAH
Tempat Shalat Terpisah
Aiman
memang orang yang kritis. Begitu juga ketika sampai di Madinah kekritisannya
terhadap lingkungan tidak berkurang. Maka ketika ia melihat shaf shalat laki –
laki dan perempuan dipisah ia penasaran.
“Mengapa
di masjid Nabawi ini dipisah ya?”
“Man,
Man. Apa kurang cukup sih. Di Masjdil Haram kan sudah dicampur, kok masih
kurang juga.”
“Bukan
begitu, kalau tidak dipisah kan bisa sama istri terus.”
“Justru
itu, Man. Kenapa masih tidak cukup?”
Masih di Makkah
Seorang
jamaah asal Pekalongan menuju toilet yang ada di masjid Nabawi Madinah. Sambil
menuju lantai bawah melalui eskalator, Permana, jamaah tersebut membaca
tulisan: “EXIT TO AL – HARAM” dan di bawahnya tertulis: “MAKHROJ ILA HARAM”.
Permana
bingung membaca tulisan yang ada HARAM-nya itu. Karena tidak ingin terlalu lama
bingung, ia mencolek temannya. “Mad, katanya kita sudah di Madinah, tapi
tulisan di toilet kok masih di Al – Haram? Berarti masih di Makkah dong?”
Madroji
terkekeh – kekeh. “Mana, Mana. Kau lupa ya kalau Madinah itu disebut juga tanah
haram? Tanah Suci?”
Permana
tak bisa mengempat senyum malunya.
Usia Kuburan Baqi’
Rombongan
haji berkumpul di bawah bimbingan seorang ustaz. Mereka akan melakukan ziarah
ke makam Baqi’. Ustaz Ridwan, sebagai pembimbing menjelaskan tentang sejarah
makam, siapa saja yang dimakamkan, dan tata cara yang harus dijalani selama
berziarah.
Salah
seorang jamaah bertanya, “Kapan makam Baqi’ mulai difungsikan, Ustaz?” tanya
Salimin.
“Jauh
sebelum Rasulullah menetap di Madinah,” jawab ustaz Ridwan.
“Tepatnya
kapan?” Salimin masih kurang puas.
Ustaz
Ridwan tidak menyangka akan menghadapi pertanyaan semacam ini.
“1.425
tahun lebih 3 hari,” sahut Jazuli, jamaah yang lain.
“Kok
begitu persis sih jawaban Bapak?” Salimin dan rombongan heran.
“Tiga
hari yang lalu saya dapat informasi dari seorang pemandu, bahwa kuburan itu
difungsikan sejak 1415 tahun yang lalu,” jawab Jazuli dengan tenang.
Burung Kecil
Saat
prasmanan makan siang di hotel tempat menginap, seorang ibu tidak beranjak dari
tempat makannya. Ia sibuk mengamati lauk, yakni burung merpati goreng.
“Ada
yang aneh, Bu?” tanya Haji Fadholi.
“Ah,
enggak. Tapi saya heran kenapa burungnya kok kecil amat ya,” ujar Hajjah Asiyah
masih heran.
“Wah,
barangkali ini bukan burung Arab, Bu,” jawab Haji Fadholi.
Jamaah
lain tidak bisa menahan tawanya.
Minum Jamu
Usai
shalat arba’in, ternyata banyak jamaah haji yang kecapekan. Memang, mereka
harus menyelesaikan shalat 5 waktu sehari selama 8 hari berturut – urut. Tidak
boleh putus. Di samping berebut waktu, biasanya mereka juga menambah shalat –
shalat sunah yang lain sehingga banyak menguras tenaga.
“Itulah,
mengapa saya bilang sebelum melakukan shalat arba’in harus minum jamu nafsu
shalat dulu,” celetuk ustaz Badrun bercanda.
Kehilangan Waktu
Abdul
Ghafur mengadu kepada ustaz pembimbingnya bahwa dia telah kehilangan 1 waktu
shalat pada saat arba’in sehingga tidak bisa berturut – urut. Dengan kecewa ia
bertanya, “ Apakah masih bisa dianggap arba’in, Ustaz?”
“Arba’in
kan artinya 40 Pak Ghafur. Kalau 39 berarti salatsu wa tis’un,” jawab ustaz
Muhith.
“Kalau
ditambah satu lagi, gimana?”
“Itu
baru 40. Tapi jadi nggak urut to. Nggak usah sedih, meskipun kurang shalatnya,
insya Allah tetap banyak deh pahalanya,” ujar ustaz Muhith dengan bijaksana.
Makam Ibrahim
Selesai
berziarah ke makam Baqi’, rombongan kemabli ke hotel. Mereka saling
membincangkan pengalamannya di Baqi’. Salah seorang jamaah yang sejak tadi
menampakkan wajah keheranan akhirnya melontarkan keheranannya. “Ada yang masih
mengganjal di benak saya. Kenapa tadi pemandu ziarah bilang kalau di situ ada makam
Ibrahim. Seingat saya, makam Nabi Ibrahim itu berada di Palestina,” kata Haji
Kusnan.
“Memang
benar makam Nabi Ibrahim di sana,” sahut Haji Warubi.
“Lalu
yang di Baqi’ itu?” Haji Kusnan masih belum dong.
“Itu
kan Ibrahim anak Rasulullah,” jawab Haji Warubi.
Waktu Buka
“Mengapa
sih makam Baqi’ dibuka hanya waktu – waktu tertentu?” tanya Hajah Waroyah
penasaran.
“Lho,
penjaga pintu gerbangnya kan adanya waktu – waktu tertentu juga,” jawab Hajah
Tarsini cepat.
Jual Jasa Do’a
Beberapa
kali berziarah di makam Baqi’, Hajjah Tiny masih memendam pertanyaan. Karena
tidak tahan memendam masalah, bertanyalah ia kepada sesama jamaah haji.
“Mengapa
selalu ada orang yang menjual jasa do’a ya?”
“Pastilah,
Bu Hajjah Tiny. Banyak dari jamaah haji kan yang tidak tahu nama – nama yang
menghuni makam. Kedua, banyak juga kan yang tidak bisa berbahasa Arab,” jawab
Hajjah Neneng sekenanya.
Makam Abdurrahman bin ‘Auf
Memperhatikan
makam konglomerat Abdurrahman bin ‘Auf yang sangat sederhana, yakni tanpa
bangunan dan hanya bernisan batu, banyak yang berbisik – bisik.
“Kok
makamnya begini sederhana ya, padahal sahabat nabi ini orang yang kaya raya,”
bisik Hajjah Muti’ah kepada Hajjah Munadah.
“Memangnya
orang Indonesia? Baru sedikit punya uang saja sudah mengkijing makam secara
mewah,” jawab Hajjah Munadah.
Air Zamzam Hangat
Kita
pantas kagum dengan manajemen masjid Nabaw, terutama soal penggantian air
zamzam yang tidak pernah kehabisan stoknya. Penggantian dan pengisiannya juga
begitu cepat dalam bentuk drum kecil yang ditaruh di dalam masjid, hampir
merata di seluruh bagian ruangan masjid.
Haji
Duriyat sudah beberapa hari terserang batuk, oleh karena itu ia menginginkan
khasiat air zamzam untuk menghilangkan penyakitnya. Sayangnya, justru yang dia
temukan air zamzam dingin. “Wah, kok nggak ada yang hangat ya,” gumamnya ragu –
ragu.
Beruntunglah
ia bertemu dengan Haji Komar. “Makanya kalau tidak tahu bertanya. Jangan sampai
malu bertanya sesat di dalam masjid,” ujar Haji Komar sambil menjelaskan bahwa
air zamzam dingin bertuliskan bahasa Arab dengan cat hitam : “ mubarrid”.
Sedangkan tulisan berwarna biru bertuliskan: “ghoiru mubarrid” yang
artinya tidak dingin.
Salah Sangka
Seorang
jamaah haji terlihat khusyu’ ketika berzikir di masjid Nabawi. Bahkan terdengar
suara tangisan sesenggukan. Ia menangis di tengah suara orang – orang batuk.
Ropanya ada jamaah lain yang memperhatikannya. “Ah, tampaknya khusyu’ sekali
tadi ya. Sampai menangis segala.”
“Saya
justru tidak khusyu’ kali ini. Mendengar suara batuk – batuk terdengar seperti
suara kodok di kampung saya. Saya jadi rindu kampung.”
Busyet
dah!
Lift Arab
Karena
kelebihan muatan ( orang, lift yang dinaiki jamaah haji dari Indonesia tidak
mau bergerak naik. Salah seorang jamaah akhirnya berbicara dengan lift.
Ternyata sami mawon. Tidak bergerak.
“Dasar
lift Arab, tak paham bahasa Indonesia!” gerutunya tanpa mengingat dirinya
sedang berhaji.
Pahala Umrah
Menurut
hadits, apabila orang di Madinah berangkat ke Quba’ kemudian shalat 2 rakaat,
maka pahalanya seperti melakukan umrah. Syaratnya, dari rumah atau dari tempat
asal menjaga wudlunya.
Sulastri,
hajah dari Indonesia sangat memimpikan itu. Oleh karena itu, dari masjid Nabawi
sudah wudlu. Namun, sampai di masjid Quba’ rupanya batal. Setengah menyesal ia
berujar, “Yah, kalau nggak dapat pahala umrah, setengahnya pun nggak apa-apa
deh, Tuhan.”
Kurma Penangkal Racun
Menurut
hadits, kurma ajwa berkhasiat sebagai penangkal racun. Menurut Rasulullah,
kalau setiap pagi makan 7 butir, insya Allah kita akan terlindung dari bahaya
racun.
“Apa
betul bisa jadi penawar racun, Tuan?” tanya Haji Fahmi.
“Afa
ente tidak percaya Rosul?” penjual balik bertanya.
“Bukan
begitu,” tukas Haji Fahmi agak ngeper. “Tapi kalau ternyata mati juga gimana?”
“Ente
funya fulus, ana kembalikan semua.”
Makam Ibrahim
Beruntung
Nasori. Meskipun masih kecil sudah bisa berangkat ke Tanah Suci. Maklum
orangtuanya kaya raya.
Ketika
di Madinah, Nasori diajak ayahnya ziarah ke Makam Baqi’. Betapa kagetnya Nasori
ketika mengetahui bahwa makam Ibrahim sangat pendek. Larilah ia kepada ayahnya.
“Ayah, ayah, apakah Nabi Ibrahim meninggal ketika masih kecil?”
Ayahnya
bingung. “Oh, tidak nak. Beliau wafat pada usia 950 tahun dan dimakamkan di
Palestina,” jelas Haji Baidlowi.
“Tapi
mengapa di sini ada makam Ibrahim?”
“Oh,
itu makam anak Rasulullah, Nak.”
Obat 1001 Macam Penyakit
Tergiur
oleh iklan yang dapat menyembuhkan 1001 macam penyakit di pelataran masjid
Nabawi, Hajah Novida yang sudah mengidap penyakit alergi yang tidak pernah
sembuh – sembuh, akhirnya membeli satu botol. Sesampai di hotel, segeralah obat
itu dicobanya. Sampai beberapa hari mempraktekkannya, ternyata obat tersebut tidak
mujarab.
“Ente
nipu ya. Sudah hampir habis obat ini ane pake, tapi belum sembuh juga!” protes
Hajjah Novida.
Sembari
tersenyum, penjual obat berkilah, “Jangan salahkan ane punya obat. Mungkin saja
ente funya fenyakit yang ke – 1002.”
Antri di Depan Lift
Sudah
menjadi kebiasaan, pada jam – jam makan siang jamaah haji selalu berebut.
Maklum, di samping khawatir di urutan belakang antriannya, khawatir juga
kehabisan menu utamanya. Tapi, ini kenyataan jamaah haji di KBIH Khusus.
Maka,
sudah menjadi pemandangan umum, seusai shalat Dhuhur di masjid Nabawi, jamah
berjubel di lift. Lebar dan panjang serta tak beraturan. Karena kesal menunggu
lama, seorang jamaah nyeletuk, “Heran, di Madinah juga ada Hajar Aswad, ya.”
Hadiah Umrah.
“Bagi
Anda yang bisa menjawab kuis berikut akan kami beri hadiah umrah 5 kali
berturut – urut,” kata Ustadz Muzakir kepada jamaah bimbingannya.
“Lho,
maksudnya gimana? Lima tahun berturut – urut?” sela Haji Yukari.
“Bukan.
Saya akan traktir kalian ke masjid Quba’ sebanyak 5 kali. Bukankah dari Madinah
ke Quba’ terus shalat sunah sudah dihitung 1 kali umrah?”
“Ah,
Ustadz bisa aja.”
Siap Mati
Sehabis
ziarah ke makam Baqi’, Haji Zaini bercerita kepada teman sekamarnya.
“Setelah
ziarah, rasanya aku siap mati dan dikubur di Baqi’. Apalagi, di situ banyak
orang top dikuburkan.”
“Wah,
ente hebat. Berarti ente sudah mantab betul,” sahut Haji Akram.
“Tapi,
pantaskah saya dikubur bersama – sama orang top ya? Rasanya kurang pantas,”
Haji Zaini balik bertanya.
“Ah,
dasar ente. Belum siap mati aja belagu.”
Waktu I’tikaf
Ada
perilaku aneh seorang jamaah haji KBIH Khusus. Ia I’tikaf tidak istiqomah alias
hanya pilih –pilih waktu, yakni waktu ashar saja.
“Mengapa
ente tidak melakukannya selain waktu ashar?” tanya Haji Sultan.
“Well,
katanya, “Ada dua hal mengapa saya melakukan demikian. Pertama, waktu tersebut
pendek. Mendekati Maghrib. Kedua, setelah ashar tidak ada antrian makan,
jadi dijamin tidak kehabisan makanan,” jawab Haji Iful.
“Emang
dasar…!”
Surat Panjang
Sudah
banyak yang tahu bahwa bacaan surat ketika shalat jahr ( dikeraskan )
biasanya panjang – panjang. Namun banyak orang yang menyukai shalat di masjid
Nabawi karena lagunya enak. Tentu tidak semua jamaah menyukainya, misalnya Haji
Ronggur.Selesai shalat ia bertanya kepada jamaah lain, tentang surat apa yang
imam baca tadi.
“Pada
raka’at pertama surat An – Naml artinya semut. Raka’at kedua, An – Nahl artinya
lebah,” jawab Ustadz Munir.
Ronggur
mengangguk – angguk. Besoknya, ia tanya kepada ustadz apakah ada surat yang
artinya bintang yang lebih besar dari lebah dan semut?
“Al
– Fiil.”
“Apa
artinya ustadz?”
“Gajah.”
“Semut
dan Lebah saja sudah panjang, apalagi gajah. Tak ikut shalat aku.”
Wah,
Ronggur salah paham, padahal surat Al – Fiil sangat pendek.
Lokasi Raudhah
Haji
Sunarko memang patut diacungi jempol. Meskipun sudah tua, pensiunan ini rajin
sekali menguber pahala. Hampir tiap malam berusaha memperbanyak amalan sunah
dan shalat di raudhah. Bahkan, saking rajinnya, jam 2 dini hari sudah berada di
halaman masjid Nabawi menunggu pintu dibuka. Ini semata – mata ingin beribadah
di tempat yang makbul tersebut.
“Sebenarnya
saya sudah sampai di raudhah belum ya,” cetusnya suatu kali. Pernyataan Haji
Sunarko ini membuat rekan – rekan sehotelnya terkesiap. Bahkan nyaris
menertawakannya kalau tidak menyadari bahwa pensiunan tersebut sungguh –
sungguh dalam beribadah.
“Lho,
bukankah Bapak sudah berkali – kali ke sana?” sahut Haji Irham.
“Tapi
saya kurang yakin apakah saya sudah di sana,” dengan suara lemah Haji Sunarko
berujar.
“Memangnya
kenapa, Pak?” Haji Jahro ingin tahu.
“Kata
orang, karpet di raudhah keputihan warnanya. Saya belum pasti betul karena di
sana ada beberapa karpet.”
“Gini
aja deh, Pak. Segala tempat yang jadi rebutan orang – orang Bapak kunjngi. Dijamin
salah satunya adalah raudhah,” saran Haji Basith sekenanya.
PERISTIWA
DI MINA
Tahallul Ni Ye…
Melaksanakan
Rukun Islam yang kelima ada beberapa pantangan. Antara lain tidak boleh
melakukan hubungan suami istri sebelum melakukan tahallul atau cukur rambut
setelah melontar jumrah. Kalau kebelet, suami istri harus bisa mengempetnya,
kalau tidak bakal didenda.
Tentunya,
tahallul adalah kegiatan yang paling ditunggu – tunggu oleh pasangan suami
istri. Oleh karena itu, ketika seorang istri memotong rambut suaminya, jamaah
yang lain nyeletuk, “Tahallul ni yeee..” Mafhumlah suami istri yang disindir
itu.
Tak Ada Kembalian
Seorang
jamaah haji bermaksud melakukan tahallul. Ia berangkat ke barber shop
agar potongannya rapi. Ia sengaja memilih barber shop yang sepi agar
tidak antri panjang.
“Tuan
Haji mau potong rambut biasa atau gundul?” tukang potong menawarkan pilihan
kepada Pak Ahmadun.
“Tarifnya
berapa?” tanya Pak Ahmadun kemudian.
“Kalau
biasa 7,5 riyal. Kalau gundul cuma 2,5 riyal.”
“Saya
memilih potong biasa,” ujar Pak Ahmadun.
Berjalanlah
prosesi cukur mencukur. Setelah selesai Pak Ahmadun menyodorkan uang 10 riyal.
Tukang potong sibuk mencari – cari uang kembalian, tapi tidak berhasil. “Maaf,
nih Pak. Kembaliannya nggak ada.”
“Ya
sudah, kalau begitu gundul saja sekalian, biar nggak perlu kembalian,” Pak
Ahmadun dengan lugunya menyerah.
Salah Sangka
Selesai
tahallul Pak Andalan kembali ke tenda di Mina. Wajahnya tampak murung. Padahal
sebelumnya ceria. Sangat ceria. Mursalam, teman satu tenda mencoba menghiburnya
tapi gagal. Bahkan, Pak Andalan tidak mau menjelaskan mengapa ia berubah
murung.
Maka
turunlah ustaz Muzakir untuk menghibur jamaah bimbingannya. “Saya paham, setiap
orang akan sedih karena tahun – tahun yang akan datang belum tentu bisa kembali
ke sini. Saya yakin pak Andalan juga memiliki perasaan yang sama. Tapi
yakinlah, kehendak Allah kadang – kadang di luar perhitungan manusia. Jadi, Pak
Anda tak perlu terlalu murung,” bujuk ustaz Muzakir.
“Maaf,
Ustaz. Saya murung karena tidak membawa istri saya. Sementara yang lain setelah
tahallul bisa langsung bermesraan dengan istrinya,” jawab Pak Andalah sambil
tersipu – sipu.
Balas Dendam Setan
Sudah
menjadi pengetahuan dan pengalaman umum bahwa tahallul biasanya ditandai dengan
mencukur gundul. Lebih – lebih jika ustaz pembimbing. Maka, ketika ada salah
seorang ustaz yang tidak memotong gundul rambutnya, ustaz yang lain meledeknya.
“Hati – hati, Antum. Kalau tidak gundul setan yang tadi kena lemparan batu
Antum masih mengenali lo. Ia bisa dengan mudah balas dendam.”
Ditakuti produsen Shampo
“Rukun
Haji apakah yang paling ditakuti produsen shampo?”
“Apalagi
kalau bukan tahallul. Kepala orang kan banyak yang gundul.”
Musyawarah Para Setan
Usai
para jamaah haji melontar jumrah, para setan berkumpul di markasnya. Banyak
setan mengeluh karena kepalanya berdarah – darah kena lemparan batu. Sebagian
lagi mengeluh wajahnya benjol – benjol kena hantaman batu. Sebagian lainnya
merasa sulit berjalan karena terinjak – injak manusia yang berebut melontar
jumrah.
”Apa
yang harus kami lakukan bos agar sakit hati kami terobati?” tanya salah satu
setan yang wajahnya babak belur.
Setelah
berpikir sejenak, Bos Setan, menjawab. “Begini saja. Kalian menyebar ke tenda –
tanda dan maktab – maktab. Cari dan kenali setiap jamaah haji. Nah, balaslah
jamaah yang telah menyakiti kalian semua!”
Bertebaranlah
para setan.
Tak
berapa lama, mereka kembali dengan lesu. Satu per satu melaporkan kegagalan
misi mereka.
“Kenapa
bisa gagal! Bodoh semua!” bentak bos seketika.
“Maaf,
Bos. Mereka telah gundul semua, jadi kami sulit mengenali orang yang menyakiti
kami….”
Siapa Tua Siapa Muda
Apa
kesimpulan yang bisa segera diambil ketika jamaah haji melakukan tahallul?
Sulit
membedakan laki – laki tua dan muda. Mereka tak punya uban lagi sih.
Catering dari Indonesia
Seorang
jamaah haji mengendus – endus makanan yang disediakan dalam bentuk bungkusan.
Rupanya ada jamaah lain yang memperhatikannya. Tak urung memancing pertanyaan.
“Ada yang tidak beres Bu Nuridah?” tanya Hajah Suharti.
“Ini
masakan dari mana sih?” tanya Hajah Nuridah. “Dari Indonesia,” jawab Hajah
Suharti, maksudnya masakan Indonesia.
“Wah,
pantas kalau basi. Dari Indonesia sih,” tukas Hajah Nuridah.
Khawatir
“Mengapa
kamu tidak ikut Nafar Tsani?”
“Khawatir
setannya sudah pada lari.”
Ambulance
“Mengapa
tulisan “AMBULANCE” harus dibaca terbalik?”
“Karena
bacaan Arab harus dari kanan.”
Pesawat Pemantau
“Mengapa
pesawat pemantau yang berkeliling Mina menggunakan helikopter?” tanya Haji
Sukron.
“Kalau
pakai pesawat tempur bisa dikira ada perang, dong,” jawab Haji Makmun sigap.
Pintu Terbuka
“Mengapa
pesawat pemantau pintunya terbuka?” tanya Haji Sukran.
“Karena
tidak memakai AC. Takut gerah di dalam,” jawab Haji Warmo.
Lontar Pagi.
“Mengapa
orang melontar jumrah Aqabah pada pagi hari?”
“Kalau
malam setannya sudah pada tidur di rumahnya.”
Nafsu Melontar
Banyak
jamaah haji yang terlalu bernafsu melontar jumrah. Bahkan dari sikap mereka,
sebenarnya rawan kecelakaan. Tidak heran kalau sikap mereka yang kesetanan itu
mengundang komentar sinis.
“Di
sini aje ente berani. Coba di Jakarte!” komentar setan sinis.
Munafik
Haji
Gento memiliki reputasi kejahatan yang luar biasa. Namun demikian, ia berusaha
melontar jumrah dengan sungguh – sungguh. Bahkan sepenuh konsentrasi.
“Alaaah,
di sini aja ente musuhin ane. Coba di Jakarte, ente bakal jadi sohib ane lagi
dah,” cela setan sambil menyeringai.
Keroyokan
Satu
rombongan haji melontar jumrah. Di dalamnya terdapat Haji Joleng yang terkenal
pengecut. Maka, setan juga terpancing untuk mengomentari, “Halaa, ente
beraninya keroyokan. Coba atu – atu, berani kagak.”
Kena Batunya
Seorang
jamaah terkena batu di jidatnya setelah melontar jumrah. Karena keadaan sudah
sepi, ia memungut batu yang mengenainya. Rupanya di situ tertulis ”sesama
setan dilarang saling menyakiti.”
SMS dari arab
Bunyi
SMS: TAHUN DEPAN TIDAK PERLU MELONTAR JUMRAH DI MINA. CUKUP DI INDONESIA.
JUMRAHNYA KANTOR DEPAG.
Dua Lantai
“Mengapa
jamarat ada 2 lantai?”
“Kok
masih nanya sih. Dua lantai aja masih banyak terjadi kecelakaan.”
Dua Jalur
Memperhatikan
frekuensi kecelakaan di jamaarat yang begitu sering, seorang pengamat
penyelenggaraan haji memberi masukan. “Mengapa tidak dibuat jalur kepulangan
dan kedatangan saja?” saran Haji Tarmizi.
“Memangnya
bandara? Pakai dua jalur segala.”
Pelayan Terkaya
“Tahukah
kalian siapakah pelayan terkaya di dunia?” tanya Haji Iqbal.
“Wah,
sulit amat bikin teka – teki,” sahut Haji Salman.
“Gampang
saja. Khadim al haramain al – Syarifain. Pelayan Dua Tanah Suci, yakni Raja
Arab Saudi.”
Peluang Profesi
Dua
orang jamaah haji sedang ngobrol santai.
“Ada
peluang profesi selain jadi tukang cukur.”
“Apaan?”
“Jadi
tukang kerok tubuh.”
Batu dari Muzdalifah
“Mengapa
batu yang kita gunakan untuk melontar jumrah harus dari Muzdalifah?” tanya Haji
Shoim.
“Allah
Maha Pemurah. Coba kalau kita disuruh ngambil di Paris. Apa nggak tambah mahal
tuh biayanya?” jawab Haji Rofi’i.
Batu di Luar Muzdalifah
Ketika
melewati para jamaah yang sedang mengambil batu di luar area Muzdalifah,
seorang sopir bus berkomentar, “Ngambil batu kok di luar Muzdalifah. Tidak
bakal mati setannya!”
“Lho,
kalau di Muzdalifah?” sela Hajjah Farhana.
“Alasatun.
Langsung koit!”
Batu Kecil
“Mengapa
batunya harus kecil – kecil? Bukankah setan tidak mati dengan batu kecil?”
tanya Haji Nirwan kepada pembimbingnya.
Pembimbingnya,
Ustaz Tamim hanya tersenyum karena tahu bahwa Haji Nirwan orang yang tidak
begitu saja mau menerima alasan.
Selesai
melontar jumrah, Haji Nirwan cerita kalau kepalanya merasa sakit karena kena
batu saat melontar jumrah.
“Nah,
coba bayangkan seandainya batunya sebesar kepala orang,” ujar Ustaz Tamim
sambil tersenyum penuh arti.
Haji
Nirwan tersenyum kecut.
Tak Boleh Batu Besar
“Mengapa
kita tidak boleh melontar jumrah dengan batu yang besar – besar?” tanya Haji
Qarni.
“Kalau
besar kan bisa tumbang. Kasihan jamaah yang melontar belakangan,” jawab Haji
Rafli.
Cuma 7 Kali
“Mengapa
kewajiban melontar jumrah hanya 7 kali setiap lontarnya?” tanya Hajah Fatimah.
“Kalau
1000 kali sekali lontar, memang kuat?” Hajah Dzuriyah balik bertanya.
Batu Besar
Seorang
jamaah haji mengambil batu – batu besar untuk bekal lontarnya. Oleh temannya
tentu saja ditegur karena tidak lazim.
“Ini
kan sama dengan 7 batu kecil,” kilah Haji Ramadhan sambil menunjukkan satu batu
besar.
“Ah,
nggak boleh itu. Kayak shalat aja dirangkap,” tukas Haji Baldan.
“Nggak
boleh ya. Saya kira boleh..”
Nama Rombongan
Karena
adanya pembatalan penambahan kuota, banyak calon jamaah haji yang mengalami
masalah. Salah satunya Iskandar. Dalam rombongan KBIH Khusus, Iskandar
menggunakan paspor coklat, tidak memiliki gelang maktab, juga tidak memperoleh
nama rombongan. Sementara dalam KBIH tersebut sudah ada nama Al – Fath, Al –
Amien dan Al – Hidayah. Pesan dari pemilik KBIH agar rombongan yang tidak
kebagian kelompok khusus ( bernama ) harus mengikuti rombongan sesuai
instruksi Ketua Rombongan.
Bagi
Iskandar dan kawan – kawan, susah juga kalau harus mengumpulkan dan memanggil
anggota rombongan. “Ini rombongan apa?” sapa seorang pembimbing.
Spontan
ada yang menjawab, “Rombongan al – Hamdulillah,Pak,” celetuk Haji Aliman.
“Lho!”
“Ya,
Pak. Soalnya bisa berangkat saja kami sudah alhamdulillah!” tambah Iskandar.
Membawa Kambing.
Setelah
selesai melontar jumrah Aqabah, banyak orang membawa kambing hadyu (
kurban ) ke bukit Mina. Jumlahnya lumayan banyak. Seorang jamaah heran mengapa
kambing – kambing itu dibawa ke sana.
“Mengapa
mereka membawa kambing – kambing itu ke sana?” tanya Haji Asghar.
“Habis
kalau membawa unta terlalu berat. Jadi cukup kambing sajalah,” ujar Haji
Muhsinin santai.
Kain Ihram Jatuh
“Tadi
saya dengar ada kegaduhan di dekat jamarat,” cetus Haji Isnaini.
“Memang
ada apa?” tanya Haji Husnun.
“Kain
ihram jatuh dari lantai 2.”
“Apanya
yang menarik? Gaduh karena pemakainya jadi telanjang dan malu?”
“Sama
sekali bukan. Kain ihram itu masih menempel di badan orang!”
Berita Hangat
Menjadi
wartawan haji senang – senang susah. Senangnya karena bisa menjalankan ibadah
haji sambil menjalankan tugasnya. Nggak enaknya kalau sudah sampai
di Mina. Hampir tiap hari ditanya mengenai kabar hangat tentang
pelontar jumrah, “Sudah ada kurban belum? Berapa jumlahnya? Dari mana saja
mereka?”
Besok Saja
Malang
bagi Pak Sobari. Sebagai warga Surabaya yang ikut Biro Haji di Jakarta, ia
tidak pernah mengikuti manasik yang diselenggarakan oleh biro tersebut.
Malangnya lagi, ia belum pernah mengikuti pengajian haji dan juga belum pernah
membaca buku – buku tentang haji.
Ketika
di Mina, dan menjelang berangkat ke Arofah untuk wukuf, ia merengek kepada
ustaz pembimbingnya. “Ustaz, kenapa mau wukuf sekarang? Cuaca sangat panas.
Lagipula hari ini tampaknya sesak sekali. Barangkali besok sudah lengang,” ujar
orangtua ini memelas.
“Lah,
ketentuannya memang tanggal 9 Zulhijjah, Pak Sobari. Dan serentak hari ini.
Kalau besok bukan wukuf namanya.”
PERISTIWA
DI AZIZIYAH
Lift Mogok
Apartemen
di Aziziyah ternyata banyak yang kurang layak. Termasuk fasilitas liftnya.
Meskipun beban yang ada di dalmnya masih jauh di bawah kapasitas, ternyata bisa
macet.
Hal
ini dialami oleh Haji Najib, Haji Soni dan Haji Thoyib. Ketika mereka mengejar
waktu maghrib di masjid terdekat, tiba – tiba lift macet.
“Wah,
dosa kita terlalu banyak kali. Sampai lift pun nggak kuat ngangkat,” ujar Haji
Najib.
“Yah,
semoga setelah wukuf tubuh kita jadi lebih ringan,” timpal Haji Thoyib sambil
tertawa.
PERISTIWA
DI ARAFAH
Mempererat Pasutri
Di
sekitar Jabal Rahmah, banyak jamaah haji yang memanfaatkan waktunya untuk
membuat kenangan pribadi dengan berfoto ria.Maklum, di samping pemandangannya
indah, Jabal Rahmah adalah tempat bersejarah bagi umat Islam.
“Untuk
kenang – kenangan Pak, Bu. Foto untuk mempererat suami istri. Bukankah di sini
dulu bertemunya Adam dan Hawa setelah 200 tahun berpisah?” rayu tukang foto
polaroid kepada Pak Sudargo dan istri. “Cuma 5 riyal sekali jepret kok.”
“Wah,
kalau begitu kami harus berpisah dulu dong, baru ketemuan di sini,” ujar
Bu Sudargo santai.
Terhindar Rafats
“Alhamdulillah,
akhirnya saya terhindar dari rafats.”
“Bagaimana
kamu menghindarkannya?”
“Karena
saya tidak membawa istri. Mana mungkin saya rafats?”
Belum Dikubur
Ketika
Ketua Maktab Asia Tenggara berkunjung ke tenda saat wukuf, listrik kebetulan
mati. Ruang terbuka yang diterangi bintang – bintang itu tidak membuat
hilangnya keceriaan para jamaah haji. Rupanya padamnya aliran listrik juga
dijadikan bahan lelucon oleh Ketua Maktab Asia Tenggara. “Listrik mati ya…”
“Iya,
sudah dari tadi,” jawab jamaah berebutan.
“Sudah
dikubur belum? Kok masih bau bangkai?”
Jamaah
tertawa. Rupanya orang Arab ini tidak hanya pintar bahasa Indonesia tapi juga
berkelakar.
Khawatir Hilang
Setelah
200 tahun berpisah, Adam dan Hawa bertemu di Jabal Rahmah. Mereka saling
melepas rindu. Bahkan, mereka tidak menginginkan lagi berpisah kalau bukan
karena Allah. Malam harinya Adam tertidur pulas. Hawa teringat sesuatu. Lalu
diraba – rabanya rusuk kanan Adam.
“Hai,
ngapain sih kok pegang – pegang rusuk?” ujar Adam terbangun. Kesal.
“Maaf,
Bang. Saya khawatir tulang rusuk kanan abang tidak ada lagi,” sahut Hawa
tersipu – sipu.
Dasar
perempuan, pencemburu.
Patung Sepeda
Di
kota Jeddah ada patung sepeda yang berukuran raksasa. Orang – orang yang
melewatinya pastilah terpesona karena ukurannya kelewat super.
“Sepeda
siapa ya? Aku nggak bisa ngebayangin orang yang menaikinya.”
“Katanya
sih sepedanya Nabi Adam.”
Makam Hawa
Ketika
rombongan haji menuju Laut Merah, seorang pemandu wisata menunjuk tempat yang
dilewati rombongan. Sebagai pemandu, spontan ia menjelaskan. “Di situlah Bunda
Hawa dimakamkan.”
“Lho,
mengapa Anda tahu betul bahwa di situ makam Siti Hawa padahal rentang hidupnya
kan begitu jauh dengan masa kini?” tanya si usil, Hajah Marliani.
“Ya,
enggak juga sih. Tapi kalau ingin memastikannya tunggu saja di situ terus
– menerus.”
“Maksudnya?”
tanya Hajah Marliani bingung.
“Kalau
Adam berziarah berarti memang benar di situ makamnya.”
Berebut Posisi
Hampir
di setiap kesempatan bepergian dengan bus, rombongan haji selalu berebut
mencari tempat yang paling enak. Apalagi kapasitas kursi di bus kadang kurang
sehingga harus ada yang berdiri.
Ketika
rombongan haji mau jalan – jalan ke Laut Merah, mereka juga berebut masuk
duluan. Akibatnya ada yang membuka pintu sopir.
“Kecele
ni ye…” Maklum kebiasaan di Indonesia masuk dari pintu kiri, sementara di Arab
melalui sebelah kanan.
Besok Saja
Malang
bagi Pak Sobari. Sebagai warga Surabaya yang ikut Biro Haji di Jakarta, ia
tidak pernah mengikuti manasik yang diselenggarakan oleh biro tersebut.
Malangnya lagi, ia belum pernah mengikuti pengajian haji dan juga belum pernah
membaca buku – buku tentang haji.
Ketika
di Mina, dan menjelang berangkat ke Arofah untuk wukuf, ia merengek kepada
ustaz pembimbingnya. “Ustaz, kenapa mau wukuf sekarang? Cuaca sangat panas.
Lagipula hari ini tampaknya sesak sekali. Barangkali besok sudah lengang,” ujar
orangtua ini memelas.
“Lah,
ketentuannya memang tanggal 9 Zulhijjah, Pak Sobari. Dan serentak hari ini.
Kalau besok bukan wukuf namanya.”
Tak Pakai Masker
Pada
musim kering, utamanya saat siang hari, di Arofah banyak debu beterbangan. Di
samping membayakan mata kita, debu bisa menyebabkan batuk. Oleh karena itu,
para jamaah disarankan memakai masker. Namun, ada jamaah yang tidak mau memakai
masker.
“Mengapa
Pak Haji nggak pakai masker?” tanya pembimbingnya.
“Takut
disangka dokter, Ustaz,” jawab Haji Gombo.”Entar ditanya – tanya jamaah gak
bisa jawab.”
Tak Tahan Masker
Karena
cuaca yang tidak nyaman bagi kesehatan fisik jamaah, dokter Doddy menasehati
jamaah agar memakai masker. Sebagian besar jamaah menuruti nasehat dokter
Doddy, tapi Haji Haris tidak. Namun, karena dibujuk – bujuk terus oleh jamaah
lain, akhirnya Haji Haris mau juga pakai masker. Tapi betapa kagetnya ketika di
bagian kedua lubang hidungnya berlubang.
“Lho,
mengapa dilubangi maskernya?” tanya dokter Doddy heran.
“Saya
nggak tahan dokter. Nggak bisa nafas,” jawab Haji Haris memelas.
Yang Duduk di Atasnya
Haji
Kabul membawa foto kenang – kenangan dari Jabal Rahmah, yakni foto temannya,
Haji Kusen Dengan anggun. Haji Kusen duduk di atas unta dengan sebagian besar
kepalanya terbalut surban.
“Ini
foto siapa, Pak?” tanya anak Haji Kabutl.
“Oh
itu kenalan baru Bapak. Haji Kusen.”
“Lalu,
yang duduk di atas Haji Kusen itu siapa?” tanya anaknya polos.
PERISTIWA
DI JEDDAH
Kok Tidak Sama
Haji
Zainudin membeli radio tape yang ada penunjuk waktunya. Setelah penunjuk waktu
di-set, ternyata angkanya tidak sama dengan arloji yang sedang dipakainya.
Akhirnya ia batal membelinya.
“Memang
kenapa Pak Haji kok tidak jadi beli?” tanya penjual dengan bahasa Indonesia
terpatah – patah.
“Radionya
nggak sama dengan jam saya,” jawab Haji Zainudin.
“Yang
benar aja, Pak. Masak radio disamakan dengan jam?” sahut penjual dengan sewot.
Kehilangan Air Zam – Zam
Saat
boarding pesawat menuju Tanah Air, Haji Rif’an menyadari telah kehilangan air
zamzamnya. Ia gelisah karena tidak mungkin lagi turun dari pesawat dan membeli
di bandara King Abdul Aziz.
“Gimana,
enaknya, Pak ya?” tanyanya kepada Haji Murod yang berada di sampingnya.
“Gini
aja. Sesampai di Jakarta nanti beli jerigen lalu diisi air. Bagilah sedikit –
sedikit kepada handai taulan yang memintanya. Jangan banyak – banyak biar nggak
ketahuan,” saran Haji Murod setengah bercanda.
“Berbohong
dong kalau begitu,” jawab Haji Rif’an ragu – ragu.
“Makanya,
mau jadi orang jujur apa nggak? Kaatanya mau mabrur?”
Di Tengah Pasar
Kota
Jeddah memiliki banyak julukan. Ada yang menjuluki “Kota Bidadari”, “Bandar
Internasional”, ada pula “ Kota di Tengah – tengah Pasar.” Makanya ketika di
Pasar Balad ada jamaah haji yang melontarkan tebakan.
“Di
tengah – tengah pasar ada apanya?” Haji Dasuki memberikan tebakan kepada Haji
Asrul.
“Kota
Jeddah, pasti.”
“Yang
benar ada S – nya,” jawab Haji Dasuki.
PERISTIWA
DI DAERAH ASAL
Makbul
Jabal
Rahmah adalah tempat yang makbul untuk berdoa. Tersebutlah sepasang suami istri
yang datang ke sana. Dengan bahasa Arab, Haji Bunyamin berdoa. Sementara
istrinya mengaminkannya.
Tiga
bulan setelah kepulangannya, Haji Bunyamin memberitahukan kepada istrinya bahwa
ia akan menikah sebulan lagi.Kontan istrinya marah – marah.
“Lho,
Ma. Bukankah waktu di Jabal Rahmah, mama mengaminkan doa papa?”
Istrinya
menangis sejadi – jadinya.
Bedanya
Pada
acara syukuran kepulangan haji, berkumpullah para tetangga di rumah Haji
Sokran. Aneka suguhan terhidang di sana. Tak ketinggalan kacang Arab.
Di
saat asik – asiknya perbincangan, salah seorang tamu bertanya, “Pak Haji
Sokran, apa sih bedanya kacang Arab dengan orang Arab?” tanya Muladi.
“Kacang
Arab kecil – kecil. Orang Arab tinggi – tinggi dan gede – gede,” jawab Haji
Sokran tangkas.
Hadirin
tertawa semua.”Kalau persamaannya, sama – sama ada Arabnya,” sambung Haji
Sokran.
Paling Rakus
Masih
seputar syukuran kepulangan haji. Di rumah Haji Dulatip ternyata juga sedang
ramai orang karena menyambut tuan rumah yang baru pulang haji. Suguhan utamanya
air zam – zam dan masing – masing 5 biji kurma.
Salah
satu tamunya adalah Markijo yang terkenal paling usil di kampung itu.
Selesai
makan kurma, rupanya keusilan Markijo kambuh. Ia memindahkan biji – biji
kurmanya di depan Mardanus yang duduk di sebelahnya.
“Tak
kusangka, ternyata Pak Mardanus paling rakus di antara kita ya. Lihatlah,” ujar
Markijo sambil menunjuk bekas suguhan Mardanus, “ Pak Mardanus habis 10 kurma,
sementara yang lain cuma 5 biji.”
Rupanya
Mardanus tidak kalah akal.
“Saya
kira Pak Markijo paling rakus. Ia tidak hanya makan buahnya, bahkan biji – biji
kurmanya pun dilahapnya,” sekak Mardanus. Markijo kalah telak.
Makanan Halal
Biasa
bahwa sepulang haji bakal ditanggap ceritanya. Syukur – syukur cerita – cerita
yang belum pernah didengar para tamunya. Begitu juga ketika Haji Jamhur pulang
haji.
“Jadi
paling susah sebenarnya apa sih Pak Haji?” tanya Sukiran.
“Mencari
makanan halal,” jawab Haji Jamhur.
“Lho,
katanya di sana tidak ada makanan haram?”
“Makanan
halal maksudnya makanan gratis.”
“Oh,
saya kira….”
Berubah Setelah Haji
Obrolah
saat rehat di kantin kantor.
“Hebat
ya, Pak Andri. Setelah menunaikan ibadah haji langsung berubah,” celetuk
Sugimo.
“Hebat
apaa. Setelah 6 bulan pulang haji kelakuannya tidak berubah begitu. Masih saja
kolusi dengan mitra kerja dan shalatnya tidak tepat waktu,” sahut Sunandar
berapi – api.
“Tapi
saya melihat ada perubahan kok.”
“Perubahan
apanya?”
“Di
depan namanya ada huruf H – nya.”
“Ah,
saya kira perbuatannya.”
Haji Mabrur
“Hebat
ya, suami Bu Ammah. Hajinya mabrur.”
“Bukankah
tanda – tanda haji mabrur perilakunya menjadi baik?” Sudiro mempertanyakan.
“Memang
demikian.”
“Tapi
saya tidak melihat perubahan itu.”
“Bukankah
namanya Mabrur? Wajar dong kalau disebut Haji Mabrur.”
Mafie Muskilah
Di
hotel Radison, Jeddah, Haji Bakar melihat – lihat toko souvenir. Tertumbuklah
matanya pada sebuah kaos dengan aneka gambar kartun yang lucu. Salah satunya
adalah kaos bergambar Unta yang sedang naik mobil dengan tulisan mencolok “MAFIE
MUSKILAH”.
Sesampai
di kampung halamannya, dibagilah kaos – kaos tersebut.Salah satu yang
memperoleh oleh – oleh penting adalah Kamidin.
“Terima
kasih, Pak Haji Bakar. Tapi, ngomong – ngomong, apa arti MAFIE MUSKILAH ini ya?
Saya takut salah kalau ada yang nanya.”
Setelah
berpikir sejenak, Haji Bakar dengan sok tahu menjawab, “ Oh itu, artinya UNTA
SIRKUS.”
Padahal
arti sebenarnya adalah NO PROBLEM alias TAK MASALAH.
Berhadapan
“Boleh
nggak Cung kalau posisi imam shalat berhadapan dengan makmum?” tanya Suyana
kepada Kacung.
“Wah,
ya nggak boleh. Nggak sah shalatnya. Kalau nggak percaya tanya saja ke ustaz
Murtadho.”
“Bapak
saya bilang boleh.”
“Wah,
jelas ngawur bapakmu itu.”
“Waktu
naik haji, Bapak lihat sendiri kok di sekitar Ka’bah begitu,” jawab Suyana.
“Oh,
iya, ya.”
Jadi Imam Masjidil Haram
Sepulang
dari haji, Irwan ditanya kesan – kesannya oleh para tetangganya.
“Yang
paling berkesan apa, pak Haji Irwan?” tanya Wiryono.
“Semua
berkesan. Tapi paling berkesan ketika diminta menjadi imam shalat di masjidil
Haram…”
“Ha!
Hebat kali kau, Irwan,” respon Situmorang.
Haji
Irwan tersenyum simpul.
“Lho,
katanya imam masjidil Haram orang yang tinggal lama di sana?” tanya Wiryono tak
percaya.
“Memang
sih. Aku kan cuma imam shalat jama’ Dhuhur dan ‘Ashar karena mau berangkat ke
Madinah.”
“Jadi…?”
“Makmumnya
cuma 3 orang, kok he…he…”
“Oladalah….”
Beda ONH Plus Dan Biasa
Sepulang
dari menunaikan haji, rumah Haji Dahlan didatangi banyak tamu. Berbagai
pertanyaan dilontarkan para tamu. Haji Dahlan menjawabnya satu per satu sebisa
mungkin sehingga dapat memuaskan penanya.
“Sebenarnya
apa sih Pak bedanya ONH Plus dengan yang biasa?” tanya Dalijo sungguh –
sungguh.
“Di
samping bayarnya mahalan ONH Plus. Ibadahnya juga lain,” Haji Dahlan
menggantung jawaban.
“Maksud
Pak Haji?”
“Kalau
ONH Biasa ibadahnya kenceng dan pahalanya buanyak. Kalau ONH Plus ibadahnya
kurang karena banyak tinggal di hotel,” canda Haji Dahlan sambil
tersenyum.
Kacang Arab
Menikmati
hidangan kacang Arab, Cholis jadi berpikir dan membanding –bandingkan.
“Pak
Haji, kenapa ya kacang Arab kok kecil – kecil begini?”
“Kalau
panjang namanya jadi kacang panjang dong,” jawab Haji Kaelani sambil tertawa.
Haji Tamattu’
“Aduh,
saya perhatikan Bu Geby tambah gemuk saja sepulang haji,” celetuk
Bu Suzan.
“Wah
ya gini ini Bu risiko ikut Haji Tamattu’,” jawab Hajah Geby.
“Lho,
kok bisa begitu?”
“Haji
Tamattu’ itu kan haji tangi- mangan – turu alias bangun – makan – tidur. Jadi
wajar dong kalau gemuk,” sambil senyum Hajah Geby menjawab.
Rugi
Seorang
jamaah haji KBIH Khusus mengeluh karena tidak bisa mencium hajar aswad.
“Rugi
saya, KBIH Khusus tapi tidak included mencium hajar aswad,” keluh Haji
Burnani.
Haji Tomat
“Wah,
saya heran. Mengapa sepulang haji ia kumat lagi kelakuannya,” Haji Basir sedang
membicarakan Haji Aljari.
“Nah,
itu yang disebut Haji Tomat. Setelah tobat kemudian kumat,” timpal Haji
Sonhaji.
Radio Bodoh
Haji
Masrin kesal dengan radio sakunya. Radio yang ia beli di Pasar Balad Jedah itu
kini tidak lagi bisa berbahasa Arab. Padahal semasa di Jedah pintar sekali
ngaji dan pidato bahasa Arab.
“Huh,
kenapa setelah di Indonesia jagi goblok begini, ya?” keluhnya tanpa henti.
Tak Menoleh
Beruntunglah
Leman karena bisa menunaikan ibadah haji. Sebagai orang yang hidupnya pas
– pasan, ia tergolong hebat karena mau berhemat demi menjalankan kewajiban
sebagai muslim.
Sore
itu Haji Leman mau berangkat ke masjid. Oleh tetangganya ia dipanggil –
panggil, “Pak Leman, Pak Leman! Mau ke mana?” teriak Kartolo.
Haji
Leman tetap tidak menoleh.
“Pak
Leman! Pak Leman! Tunggu, saya ingin menyampaikan sesuatu kepada Bapak!”
Haji
Leman tetap tidak menoleh. Akhirnya dengan napas ngos – ngosan Kartolo berlari
menyusulnya.
“Kenapa
sih Pak Leman saya panggil – panggil tapi tidak menoleh?”
“Enak
aja panggil – panggil Pak Leman. Saya kan sudah haji susah – susah ngumpulin
duit bertahun – tahun. Masak tidak dipanggil Pak Haji Leman juga?”
“Oh,
maaf deh Pak Leman, eh Pak Haji Leman…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar